PENDAHULUAN
Salah satu tugas penting pemerintah terhadap
warga negaranya adalah memberikan kesejahteraan. Upaya untuk mewujudkan
kesejahteraan tersebut dilakukan melalui
kegiatan pembangunan. Karena mayoritas penduduk Indonesia tinggal di pedesaan dan mengandalkan
kehidupannya dari sektor pertanian, maka pembangunan sektor ini juga menjadi
prioritas, tanpa mengabaikan kepentingan pembangunan di sektor lainnya.
Selama 30 tahun terakhir pembangunan Indonesia
telah mencapai berbagai keberhasilan. Indonesia bahkan dinilai oleh Bank
Dunia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang mencapai keajaiban dalam
pertumbuhan ekonominya. Salah satu keberhasilan pembangunan Indonesia yang layak dicatat adalah
ketika mampu mencapai swasembada beras
pada tahun 1984. Keberhasilan ini juga dibarengi dengan kemampuannya dalam
menurunkan angka kemiskinan, dimana jika pada tahun 1970 penduduk miskin tercatat ada sekitar 44 %,
maka pada tahun 1996 jumlahnya turun menjadi tinggal 11 %. Namun sayang keadaan
yang sangat ”ajaib” itu tiba-tiba harus berubah ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi
pada tahun 1998.
Dampak krisis tahun 1998 telah menekan terhadap
derajat kesejahteraan rakyat, terutama penduduk yang sebelum krisis berada
dibawah garis kemiskinan, ataupun mereka yang berada sedikit diatas garis
kemiskinan. Kelompok inilah yang paling banyak menerima dampak dari krisis
tersebut sehingga pada akhirnya mereka
menjadi penduduk yang benar-benar miskin. Sejak terjadinya krisis, pemerintah juga melakukan kebijakan yang
kurang menguntungkan bagi kelompok ini seperti kenaikan harga BBM
misalnya, yang dampaknya membuat
orang-orang miskin baik petani miskin maupun
nelayan miskin menjadi makin tidak mampu memenuhi kebutuhannya karena
naiknya harga-harga kebutuhan pokok di pasaran. Akibatnya jumlah penduduk
miskin meningkat jumlahnya. Baik di perkotaan maupun di pedesaan. Meningkatnya angka kemiskinan ditandai oleh
makin meluasnya penyakit yang rentan dialami oleh penduduk miskin, dimana salah satunya adalah gizi buruk atau
,alnutrisi. Merebaknya penyakit gizi buruk, terutama yang dialami oleh
anak-anak dinilai banyak pihak sebagai
kondisi yang perlu mendapatkan penanganan serius. Hal ini disebabkan anak-anak
dengan gizi buruk akan kehilangan kesempatan emas untuk tumbuh secara normal,
sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan hilangnya satu generasi. Lalu apa yang seharusnya
dilakukan oleh pemerintah terkait dengan fenomena tersebut ? Sejauh mana
hubungan kemiskinan dengan gizi buruk ? Bagaimanakah kebijakan ketahanan pangan dilaksanakan
untuk mengatasi kemiskinan dan gizi buruk ?
FENOMENA GIZI BURUK
ATAU MALNUTRISI
Maraknya
pemberitaan tentang penyakit gizi buruk yang dialami oleh anak-anak di berbagai
daerah di Indonesia menjadi suatu pukulan yang menyakitkan bagi kita semua.
Indonesia sebagai negara yang memiliki sumberdaya alam begitu melimpah menjadi sebuah ironi ketika ternyata ada
sebagian penduduknya yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Pepatah
yang menyatakan ”Tikus Mati Di Lumbung Padi”
nampaknya cocok untuk menggambarakan kondisi ini. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sejak
Indonesia dihantam badai krisis, jumlah masyarakat miskin di Indonesia terus
bertambah. Kelompok masyarakat ini merupakan kelompok yang sangat rawan karena
kemiskinan telah menyebabkan mereka tidak lagi memiliki kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan pangannya, bukan saja karena tidak mampu membeli, akan
tetapi lebih diperparah lagi karena rendahnya ketersediaan pangan di
wilayahnya.
Kekurangan pangan
yang berkelanjutan nampaknya menjadi fenomena yang tidak hanya dialami oleh
Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, ketersediaan pangan
yang terus menurun akan menjadi ancaman
serius terjadinya kekurangan gizi musiman ataupun tetap bagi sejumlah
penduduk. Pertambahan jumlah penduduk yang kurang gizi pada tingkat gizi buruk
kebanyakan dijumpai diantara kelompok yang paling rawan, misalnya pada bayi dan
anak-anak sekolah, wanita hamil dan menyusui, penderita sakit dan yang dalam penyembuhan
serta penderita cacat atau mereka yang diasingkan dan para jompo.
Di Indonesia jumlah penderita gizi buruk terus meningkat,
terutama pada anak-anak. Gizi buruk adalah keadaan gizi kurang hingga tingkat yang berat yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari
dan terjadi dalam waktu yang lama. Kasus gizi buruk memasuki tahun 2013 masih
banyak terjadi di berbagai daerah sejak marak pemberitaanya di tahun 2005,
termasuk di daerah-daerah yang menjadi lumbung pangan seperti di Nusa tenggara
Barat. Penyebab gizi buruk yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia ini
disebabkan tidak hanya karena faktor kekurangan pangan akibat kemiskinan,
tetapi juga disebabkan karena pola asuh dan pola makan. Meningkatnya jumlah penderita gizi buruk di Indonesia oleh
banyak kalangan dinilai sebagai fenomena gunung es, yang didalamnya menyimpan
sejumlah fakta lain yang belum muncul ke permukaan.
Berbicara masalah gizi buruk mau tidak mau
terkait dengan masalah ketersediaan pangan. Pangan dan gizi telah menjadi isu
dalam konteks mikro, yaitu berupa kebutuhan di dalam tubuh manusia dan juga
dalam konteks makro dimana masalah pangan
dikaitkan dengan aspek-aspek sosial,
ekonomi dan juga budaya. Oleh karenanya ketersediaan pangan yang cukup menjadi
sangat berarti untuk pemenuhan gizi dan kelangsungan hidup manusia. Menurut
Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1946 Artikel 11 (1) menyatakan bahwa “ setiap orang mempunyai hak atas standar hidup yang memadai untuk
memperoleh kesehatan dan kesejahteraan bagi dirinya, keluarganya, termasuk
makanan…”. Demikian juga Deklarasi Ketahanan Pangan Dunia yang dicanangkan
di Roma pada tahun 1996 memutuskan
pentingnya seseorang memperoleh akses terhadap makanan yang cukup,
bergizi dan aman bagi tubuhnya.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di
Asia Tenggara khususnya, kecuali beras, maka tingkat konsumsi per kapita per
tahun rakyat Indonesia
terhadap daging, ikan, buah-buahan, telur, masih rendah. Hal ini akan dapat
menyebabkan hambatan terhadap upaya peningkatan kualitas SDM karena secara
signifikan dibuktikan bahwa perbaikan kualitas SDM berhubungan dengan kualitas gizi yang dikonsumsi
sehari-hari oleh masyarakat. Sementara upaya untuk mengupayakan perbaikan gizi
bukanlah persoalan mudah karena adanya sejumlah tantangan, terutama pertumbuhan
penduduk yang masih tingi. Pertumbuhan penduduk Indonesia
saat ini sekitar 1,7 % per tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 penduduk Indonesia mencapai 300 juta jiwa.
Hal ini menyebabkan Indonesia
menghadapi tantangan ganda berupa peningkatan produksi pangan untuk memenuhi
kebutuhan akibat pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita.
Namun bukti empirik menunjukan bahwa pemenuhan kebutuhan pangan menjadi
persoalan yang kritis mengingat Indonesia
juga masih memiliki kemampuan yang rendah dalam
menjamin ketersediaan pangan.
Rendahnya kemampuan dalam menyediakan
ketersediaan pangan disebabkan karena secara terus menerus terjadi penurunan
produktivitas pangan akibat menyusutnya lahan pertanian ataupun karena
rendahnya nilai tukar hasil pertanian yang menyebabkan para petani enggan untuk
menjadi petani, sementara tingkat
kebutuhan pangan sendiri terus meningkat akibat pertambahan penduduk. Alih
fungsi lahan pertanian khususnya di Jawa
menjadi hal yang sangat nyata dimana dalam 10 tahun terakhir diperkirakan
tingkat pengalihan fungsinya mencapai 13.500 hingga 22.500 hektar per tahun.
Kondisi inilah yang menjadi awal munculnya ketahanan pangan yang lemah, yang
kemudian diperparah oleh ketergantungan kita terhadap pasokan pangan dari luar.
Ketika harga pangan dunia naik, maka dipastikan Indonesia akan menjadi salah satu
negara yang mengalami krisis pangan. Krisis pangan yang kemudian memunculkan terjadinya fenomena
gizi buruk yang hampir merata terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Secara singkat akibat kekurangan gizi yang
disebabkan oleh kekuranagn pangan atau kelaparan dapat dilihat pada tabel
dibawah ini
Tabel 1.
Dampak Kekurangan Pangan Pada
Pengembangan Fisik, Kesehatan dan sosial
Sumber : Fransiska
Rungkat Zakaria,dalam Yusuf Sutanto, 2006: 243
Banyak faktor menyebabkan seseorang mengalami kekurangan
pangan, yang merupakan cermin dari lemahnya ketahanan pangan (food security). Penerapan hak asasi
manusia atas kecukupan pangan yang telah disepakati bersama seharusnya
diterjemahkan dalam bentuk
undang-undang, yang menjamin setiap pemerintah wajib mengupayakan kecukupan
pangan bagi warga negaranya. Agar supaya setiap individu dapat terjamin
kecukupan pangan maka penting dikembangkan sistem ketahanan pangan, baik yang
bersifat mikro maupun yang bersifat global.
KETAHANAN PANGAN
Ketahanan pangan
terus menjadi isu global, terlebih karena diyakini bahwa pertumbuhan penduduk di
negara-negara berkembang tidak akan mengalami pertumbuhan yang bersifat
mendatar lebih cepat dalam waktu 50 tahun mendatang. Untuk menghadapi tantangan ini maka komunitas global secara bersama-sama
telah menetapkan target yang diharapkan dapat direalisasikan pada tahun 2015
melalui apa yang disebut Millenium Development Goals ( MDGs ), yang mencakup didalamnya antara
lain :
- Menghilangkan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim
- Mencapai pendidikan dasar yang universal
- Mempromosikan kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan
- Megurangi kematian anak
- Memperbaiki kesehatan ibu
- Melawan HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain
- Menjaga kelestarian lingkungan
- Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Untuk memenuhi
agenda MDG -1 bukanlah persoalan mudah karena masih banyaknya jumlah
penduduk dunia yang terjebak dalam
kemiskinan dan kekurangan pangan. Konsep
ketahanan pangan sendiri sebenarnya muncul pertama kali tahun 1974
ketika dilaksanakan konferensi pangan dunia.
Sejak inilah berbagai definisi menyangkut ketahanan pangan (food security) muncul dengan berbagai
perspektif, dari perspektif pangan
sebagai kebutuhan dasar (food first
perspective) sampai pada persrpektif pangan sebagai penghidupan (livehood perspective) dan sejak tahun 80
an diskursus ketahanan pangan secara global fokus pada aspek hak atas pangan (food entitlement), resiko dan
kerentanaan (vulnerability). Perspektif
ini sebenarnya dipelopori oleh Amartya Sen, yang mengganggap kaum Maltusian
gagal mempertahankan argumentasinya bahwa ketahanan pangan semata-mata
ditentukan oleh produksi dan ketersediaan. Berbagai penelitian yang dilakukan
Sen di India dan Afrika memperlihatkan bahwa kelaparan dan terjadinya fenomena
ketidak-tahanan pangan disebabkan karena ketiadaan akses atas pangan, sekalipun
pada saat produksi pangan melimpah.
Ketahanan pangan
sendiri oleh Bank Dunia didefinisikan sebagai ”akses terhadap kecukupan pangan bagi semua orang pada setiap saat untuk
memperoleh tubuh yang sehat dan kehidupan yang aktif ” ( Dikutip oleh
Zakaria, dalam Yusuf Sutanto, 2006:245). Sementara menurut PP No. 68 tahun 2002
tentang Ketahanan Pangan, pada ketentuan umum pasal 1 (1) dinyatakan bahwa ”ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terkjangkau”. Konsep ketahanan pangan sebenarnya didasarkan
atas akses individu atau rumah tangga terhadap pangan. Membahas ketahanan pangan secara komprehensif
menurut FAO ( http://www.ki.or.id
) akan mencakup tiga aspek penting yaitu pertama
aspek ketersediaan (availability),
yaitu jumlah pangan yang tersedia harus mencukupi kebutuhan rakyat, baik
bersumber dari produksi domestik maupun impor; Kedua,
keterjangkauan (accessibility) baik
keterjangkauann secara fisik yang mengharuskan bahan pangan mudah dicapai
individu atau rumah tangga, maupun keterjangkauan ekonomi dimana kemampuan memperoleh atau
membeli pangan berkaitan dengan daya beli masyarakat; ketiga, aspek stabilitas (stability)
yaitu kemampuan minimal terjadinya konsumsi pangan berada dibawah level
kebutuhan standar pada musim-musim sulit (paceklik atau bencana alam).
Sementara itu
Maxwell (http://www.zef.dc) mengususlkan sedikitnya ada
empat elemen terkait dengan katahanan pangan yang berkelanjutan (sustainable food security) di level
keluarga yakni : Pertama, kecukupan
pangan, yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk
kehidupan yang aktif dan sehat; Kedua,
akses akan pangan, yaitu hak untuk berproduksi, membeli atau menukarkan pangan
atau menerima sebagai pemberian; Ketiga,
ketahanan yang diartikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, resiko dan
jaminan pengaman sosial; Keempat,
fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat bersifat kronis, transisi dan atau
siklus.
Indonesia sendiri
sejak lama cenderung memaknai ketahanan pangan identik dengan swasembada beras.
Konsep ini dilembagakan sejak pemerintahan Orde Lama hingga pemerintahan Orde
Baru, bahkan berlanjut pada saat Orde Reformasi, yang menekankan pentingnya
peran lembaga penjamin ketersediaan beras seperti Bulog. Sejak tahun 1952
Indonesia bergumul dengan upaya mencapai swasembada beras, dan dapat dicapai
pada tahun 1984, tetapi tidak mampu dipertahankan secara berkelanjutan.
Kegagalan untuk mempertahankan swasembada beras nampaknya harus menjadi
pembelajaran untuk merubah cara pandang terkait dengan ketahanan pangan. Hal
ini penting karena dalam kenyataanya bicara masalah ketahanan pangan bukan
hanya persoalan swasembada pangan. Gambaran tentang swasembada
pangan tidak identik dengan ketahanan pangan
dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2
Ketahanan Pangan versus
Swasembada Pangan
|
Ketahanan
Pangan
|
Ketidak-tahanan
Pangan
|
Swasembada Pangan
|
A
|
B
|
Contoh : USA, Kanada, Australia, Brunei, etc.
|
Contoh : Myanmar, Indonesia,
Filipina
|
|
Tidak
Swasembada pangan
|
C
|
D
|
Contoh : Norwegia, Jepang, Singapura, etc.
|
Contoh
: Malawi, Eritrea, Kenya,
Kongo, East Timor.
|
Sumber : Jonathan Lassa (http://www.zef.dc)
Tabel diatas memperlihatkan bahwa negara-negara
yang masuk kategori A memiliki kapasitas pangan yang paling kuat, karena
memiliki kondisi pangan ideal dimana mereka bukan saja mampu berswasembada
pangan tetapi sekaligus memiliki ketahanan pangan yang kuat. Negara-negara
dalam kategori C, meskipun mereka tidak berswasembada pangan, akan tetapi
mereka memiliki fondasi ketahanan pangan yang lebih baik dibandingkan dengan
negara-negara dalam kategori B, yang bisa melakukan swasembada pangan
tetapi mempunyai kapasitas yang lemah di
bidang ketahanan pangan. Negara yang masuk kategori D merupakan negara yang
sangat rentan karena disamping tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan
swasembada pangan, sekaligus tidak mampu menciptakan ketahanan pangan.
Negara-negara inilah yang menjadi prioritas intervensi internasional dalam memperoleh bantuan pangan.
Bagi Indonesia sendiri, melakukan
redifinisi kebijakan ketahanan pangan nampaknya menjadi sebuah keharusan. Hal
ini mengingat aspek ketahanan pangan dalam dinamikannya saat ini juga
dipengaruhi oleh kecenderungan globaliasasi pangan, dimana Indonesia sendiri telah menjadi
bagian dari negara-negara di dunia yang tidak bisa mengandalkan pemenuhan
kebutuhan pangannya pada produksi pangan domestik. Globalisasi sebagai model
ekonomi, dengan ideologi dasarnya adalah perdagangan bebas dan liberalisasi pasar uang dan modal, pada awalnya diharapkan dapat menciptakan
tata ekonomi yang lebih adil dengan menyebarkan kemakmuran ke seluruh
masyarakat di dunia. Tetapi dalam prakteknya kebijakan rejim global hanya
mempertahankan kemakmuran bagi pihak-pihak kaya, dan makin
membenamkan masyarakat di negara-negara berkembang dalam perangkap
kemiskinan, karena adanya upaya secara
terstruktur mereduksi akses warga miskin
terhadap pangan dan pelayanan sosial yang vital. Dalam dua dasawarsa terakhir, sistem pangan dunia benar-benar menghadapi arus kuat globalisasi, yang membuat
makin banyak negara-negara berkembang terperangkap didalamnya.
Arus kuat
globalisasi pangan ini tidak dapat dipungkiri telah memberikan dampak
tersendiri terhadap kondisi pangan di Indonesia. Munculnya aneka macam
buah-buahan dan sayuran segar serta berbagai item pangan olahan impor di
berbagai super market, bahkan merambah pasar-pasar tradisional menjadi salah
satu bukti kehadiran dari globalisasi pangan. Globalisasi pangan ini tentu akan
membawa sejumlah dampak, dan salah satunya adalah terhadap ketahanan pangan dan pertanian
lokal. Hal ini disebabkan terbukanya pasar menyebabkan banyak negara, termasuk
Indonesia melakukan impor sebagai
strategi utama dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Akibatnya tingkat
ketergantungan terhadap impor bahan pangan menjadi sangat tinggi, sehingga ketahanan pangan mereka menjadi rapuh.
Rapuhnya ketahanan
pangan menjadi kondisi yang memprihatinkan bagi Indonesia. Hingga akhir bulan
Februari 2008 FAO mengumumkan ada 36 negara mengalami krisis pangan akibat
kenaikan harga komoditas pangan (http://www.detikfinance,). Krisis pangan di
Indonesia selain diakibatkan oleh melonjaknya harga pangan dunia, juga diperburuk
dengan adanya berbagai bencana alam seperti gempa, banjir dan juga tanah
longsor. Krisis pangan di Indonesia telah menjadi ujian berat dari upaya
mengembangkan ketahanan pangan, yang ternyata masih jauh dari harapan.
Indonesia bahkan menjadi salah satu negara yang masuk dalam perangkap krisis
pangan global. Untuk tidak makin
tenggelam dalam perangkap pangan global, maka pemerintah perlu makin serius
dalam penanganan kebijakan ketahanan pangan, terutama dengan mengurangi tingkat
ketergantungan pangan pada pihak manapun.
Ketahan pangan
sendiri melibatkan tiga subsistem sebagaimana aktivitas ekonomi pada umumnya
yaitu produksi, distribusi dan konsumsi. Produksi berkaitan erat dengan
ketersediaan pangan, distribusi terkait
dengan efisiensi pasar dan konsumsi berhubungan dengan aspek kualitas, jumlah,
keragaman dan keamanan bahan pangan. Ketiga sub sistem ini menjadi sebuah
tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Gambar 1
Sistem Perdagangan Pangan Lokal dan Global
Sumber : Achmad Suryana. 2003. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan
Untuk menghadapi
tantangan tersebut, meskipun tidak ada satu negara di dunia yang mampu memenuhi
kebutuhan pangannya secara mandiri dari produksi domestik, akan tetapi kita
harus mampu merumuskan seberapa besar prosentase ketergantungan kita terhadap produk pangan
impor. Malaysia sebagai contoh, telah
meredifinisi ulang ketahanan pangannya dengan swasembada pangan nasional 60 %
dan sisanya sebanyak 40 % diperoleh dari impor pangan. Upaya redifinisi ini
penting, mengingat secara internal Indonesia menghadapi sejumlah tantangan
seperti tuntutan untuk dilakukannya proteksi terhadap kepentingan petani dan
juga terpenuhinya kebutuhan pangan murah bagi masyarakat miskin perkotaan.
Kebijakan untuk menghadapi tantangan ini
tidak sebatas pada aspek produksi, akan tetapi harus dapat menjawab
persoalan yang lebih substansial berupa akses atas pangan yang berkualitas dengan harga yang terjangkau.
Berbeda dengan
kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya, pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono mencoba menawarkan kebijakan baru terkait dengan ketahanan pangan melalui konsep revitalisasi pertanian.
Kebijakan ini secara jangka panjang ditujukan untuk menjamin ketahanan pangan
nasional, yang bukan hanya akan
menjamin keamanan dalam ketersediaan
pangan, tetapi juga berkurangnya ketergantungan pada pasokan pangan dari luar,
dengan mengupayakan daya dukung sektor pertanian secara lebih komprehensif.
REVITALISASI PERTANIAN
Dalam sejarah perekonomian Indonesia,
sektor pertanian memiliki posisi yang
strategis, antara lain sebagai sumber
penyedia konsumsi makanan, sumber bagi sebagian tenaga kerja mencari kehidupan
dan sebagainya. Sampai saat ini sektor pertanian masih menyerap tenaga kerja
terbesar yaitu sekitar 44,04 % . Namun
sayang daya serap tersebut belum dibarengi oleh optimalisasi produktivitas
pertanian itu sendiri. Untuk dapat meningkatkan kembali produktivitas
pertanian, kebijakan revitalisasi pertanian menjadi sebuah keharusan, dengan penanganan yang menuntut kesungguhan
lebih besar lagi. Melalui kebijakan
revitalisasi, sektor pertanian ini diharapkan bukan hanya menjadi jaring
pengaman sosial (Social safety Net)
akan tetapi dapat memainkan peranan yang lebih strategis sebagai pilar yang
kokoh bagi ekonomi nasional di tengah derasnya persaingan ekonomi global.
Kebijakan
revitalisasi sektor pertanian sendiri sebenarnya bukan sesuatu yang
baru karena telah lama digulirkan, bahkan sejak pemerintahan Orde Lama. Namun
kebijakan-kebijakan tersebut belum dapat menghasilkan percepatan pertumbuhan
ekonomi di sektor pertanian, sehingga peningkatan kesejahteraan bagi petani pun
menjadi terhambat. Kebijakan revitalisasi pertanian ini oleh pemerintahan
Yudhoyono kembali dicanangkan pada tangga 11 Juni tahu 2005, berupa peluncuran
program Revitalisai Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), sebagai salah satu upaya mendorong pertumbuhan
perekonomian pedesaan dan mengatasi kemiskinan. Dalam laporan Kompas yang
berjudul ” RPJM dan Upaya Memutus Lingkaran Setan” dikutipkan pendapat Presiden
dalam pidato pencanangan Revitalisasi Pertanian yang menyatakan keinginan
pemerintah untuk mentargetkan pertumbuhan
ekonomi mencapai 6,6 % per tahun
selama tahun 2005-2009, pengangguran turun dari 9,5 % menjadi 5,1 % di tahun
2009 dan angka kemiskinan turun menjadi 8,2 % pada tahun 2009. (Kompas, 5
Februari 2005).
Munculnya kembali
upaya untuk mengembangkan kebijakan revitalisasi pertanian sebenarnya
berangkat dari sebuah kesadaran mengenai arti pentingnya pertanian bagi seluruh kehidupan rakyat
Indonesia. Menurut Bayu Krinamurthi ( dalam Yusuf Sutanto, 2006:5-6),
Revitalisasi pertanian memiliki tiga pilar pengertian yaitu : pertama, pengertian revitalisasi
pertanian sebagai kesadaran akan pentingnya pertanian-dalam arti vitalnya
pertanian bagi kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia; Kedua, revitalisasi pertanian sebagai bentuk rumusan harapan masa
depan akan kondisi pertanian; dan Ketiga,
revitalisasi pertanian sebagai kebijakan dan strategi besar melakukan ”proses
revitalisasi” itu sendiri. Dari ketiga pilar pengertian tersebut, pada akhirnya
revitalisasi pertanian harus dipahami sebagai usaha strategis untuk
meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat dan mengurangi kemiskinan serta membangun ketahanan pangan.
Revitalisasi
pertanian menjadi sebuah kebijakan prioritas karena sektor pertanian di Indonesia selama dua
dekade terakhir ini menunjukan kondisi yang memprihatinkan, baik dilihat dari aspek kesejahteraan petani,
kemandirian pemenuhan kebutuhan maupun dari perkembangan pertanian itu sendiri. Dari
aspek kesejahteraan, BPS mencatat sekitar 82,7 % Rumah Tangga Pertanian
dikategorikan miskin. Dari aspek pemenuhan kebutuhan, tingkat kemandirian kita
masih rendah karena kebutuhan pangan
kita masih dipasok oleh luar, baik beras, sayuran, buah-buahan, daging dan
sebagainya. Sementara dari perkembangan pertanian menunjukan makin menurunnya
produktivitas hasil-hasil pertanian Menurunnya produktivitas pertanian antara lain disebabkan oleh karena menurunnya
luasan penguasaaan lahan dan juga menyusutnya lahan persawahan. Meluasnya aktivitas
konversi lahan pertanian menjadi masalah yang serius, mengingat konversi
tersebut dilakukan atas lahan persawahan yang produktif.
Penyusutan lahan persawahan nampaknya menjadi
masalah keagrariaan yang memerlukan penanganan sungguh-sunguh dan komprehensif.
Jika penyusutan lahan persawahan terus-menerus dibiarkan, maka posisi petani
kita terancam tidak mampu lagi bertahan sebagai penjaga ketahanan pangan kita.
Sebagai penjaga ketahanan pangan petani harus dapat meningkatkan produktivitas
dan pendapatannya, sehingga kemandiriannya secara ekonomi lebih terjamin. Namun petani sendiri menurut Andi Irawan (http://www.ki.or.id), sering menghadapi
kesulitan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatannya karena sejumlah
kendala yaitu : Pertama, kendala
struktural sumberdaya lahan., dimana sebagian besar petani kita adalah petani
dengan lahan sempit atau sering disebut sebagai petani gurem; Kedua,
rendahnya akses terhadap input pertanian penting; Ketiga, minimnya akses
terhadap dana dan modal; serta Keempat,
banyaknya masalah pada pemasaran output mereka Kebijakan revitalisasi pertanian harus
diarahkan untuk memutus rantai penghalang bagi petani dalam memperoleh keadilan
baik terkait aspek produksi, distribusi
maupun konsumsi. Petani harus benar-benar menjadi penyedia kebutuhan pangan,
memperoleh keadilan harga dalam memasarkan hasil, serta memiliki jaminan untuk tetap bisa
mengkonsumsi pangan yang sehat. Intinya adalah bahwa kebijakan revitalisasi
pertanian tidak lagi terbatas berorientasi pada swasembada pangan tetapi lebih
mengarah pada upaya pencapaian ketahanan pangan. Oleh karenanya ke depan
strategi kebijakan untuk menjaga ketahanan pangan nasional sekaligus
meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani harus dapat mencakup tiga
aspek penting yaitu :
- Kebijakan yang berorientasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi pedesaan sekaligus meningkatkan produksi pangan nasional. Untuk mendukung keberhasilan kebijakan ini perlu dilaksanakan program redistribusi tanah pertanian, yang memberikan akses minimum bagi petani dalam kepemilikan lahan. Disamping itu perlu ada kebijakan akses petani terhadap lembaga kredit dan input penting lainya seperti pupuk dan bibit unggul. Redistribusi tanah pertanian oleh banyak kalangan dinilai sebagai kebijakan yang cukup mendesak, karena karena menurut Khudori ( dalam Usep Setiawan,2004: 73), ketimpangan struktur penguasaan tanah inilah yang sesungguhnya dinilai sebagai sumber penyebab kemiskinan di pedesaan. Kenaikan presentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan mengindikasikan semakin miskinnya petani.
- Kebijakan yang berorientasi menjaga aspek keterjangkauan pangan dengan memperbaiki akses ketersediaan pangan di wilayah-wilayah yang potensial mengalami rawan, termasuk program perlindungan sosial pangan berkala dan diversifikasi pangan.
- Kebijakan yang berorientasi menjaga stabilitas ketahanan pangan antar waktu melalui program impor pangan secara selektif dan juga pelibatan terhadap lembaga tradisional yang berfungsi sebagai penyangga logistik antar musim seperti lumbung desa misalnya.
Kebijakan
revitalisasi pertanian hanya akan berhasil apabila didukung adanya semangat
yang tinggi untuk mengubah mind set
tentang pertanian. Perlu merubah
pandangan tentang pertanian sebagai sektor yang membuat orang bukan hanya bisa
menghidupi dirinya sendiri, akan tetapi melalui pertanian orang bisa menjadi
kaya dan terhormat. Perubahan mind set
ini tentu membutuhkan proses sosialisasi, pendidikan dan pembudayaan secara
sistematik.
Disamping itu
perlu dibangun paradigma baru
pembangunan pertanian sebagai usaha terstruktur menciptakan keberdayaan
petani. Oleh karenanya petani harus diberikan akses yang luas untuk memperoleh
akses terhadap input penting pertanian, apakah berupa teknologi, sarana produksi maupun sumber daya
finansial. Keberdayaan petani ini pada akhirnya akan bisa membawa petani untuk
masuk dalam dunia persaiangan (kompetisi), terutama peningkatan daya saing
produk. Peran regulasi sangat penting dalam menciptakan kondisi yang kondusif
bagi munculnya persaingan sehat dalam
perdagangan komoditas pertanian. Oleh karena itu pemerintah dituntut bisa menciptakan
aturan-aturan yang tidak distortif. Namun yang tidak kalah penting adalah bahwa
revitalisasi pertanian harus merupakan kebijakan yang berpihak pada pembangunan
pertanian yang berkelanjutan, dimana
aspek kelestarian menjadi pertimbangan-pertimbangan strategisnya.
PENUTUP
Dari berbagai
uraian diatas, maka dapat diambil simpulan bahwa Indonesia sebagai negara
agraris pada dasarnya merupakan pemilik sumber daya pertanian yang amat
melimpah. Namun demikian dalam perkembangannya Indonesia dihadapkan pada sebuah
permasalahan yang cukup berat berupa krisis ketahanan pangan. Krisis katahanan
pangan tersebut berakar dari kebijakan pembangunan pertanian yang mengedepankan
pada aspek swasembada beras/pangan sebagi prioritas, dimana upaya untuk
pemenuhan swasembada tersebut diidentikan dengan upaya modernisasi pertanian.
Revolusi hijau
adalah salah satu bentuk program modernisasi pertanian, yang meskipun secara
makro telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, akan tetapi secara
mirko justru menghasilkan dampak negatif berupa menurunya pendapatan petani.
Menurunnya pendapatan petani secara jangka panjang telah menyebabkan
peningkatan jumlah kemiskinan di pedesaan yang ternyata menjadi rawan dalam hal
ketahanan pangan. Kondisi inilah yang
menjadi alasan untuk melakukan pendefinisian kembali pembangunan pertanian
melalui kebijakan revitalisasi pertanian.
Revitalisasi pertanian ini tidak lagi semata-mata berorientasi pada
terpenuhinya ketersediaan pangan, akan tetapi lebih substansial pada makin
terbukannya akses masyarakat terhadap pangan. Dengan kemampuan akses pangan
inilah masyarakat khususnya petani akan dapat memiliki keberdayaan secara
komprehensif terhadap produksi, distribusi dan konsumsi hasil pertanian.
Daftar Pustaka
Husein. Ali Sofyan, 1995,
Ekonomi Politik Penguasaan Tanah,
Jakarta, Pustaka Sinar Harapan
Suryana, Achmad, 2003, Kapita Selekta Evaluasi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan,
Yogyakarta, BPFE
Sutanto, Yusuf
(editor), 2006, Revitalisasi Pertanian
dan Dialog Peradaban,Jakarta, Penerbit Buku Kompas
Widodo, Sri dan
Suyitno, 1999, Pemberdayaan Pertanian
Menuju Pemulihan Ekonomi Indonesia, Yogyakarta, Aditya Media
Jurnal Analisis
Sosial, Vol.9 No 1 April 2004, Pembaruan
Agraria :Antara Negara dan Pasar
Jurnal
Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA, In Memoriam Ace Partadireja: Pengembangan Kearah Pemikiran Ekonomi Kelembagaan, No.
54/XXVII/IV/2004
Jurnal
Pembaruan Desa dan Agraria, Sengketa
Sumber Daya Alam, Volume III/Tahun III/2006
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan
The Indonesian Institute, INDONESIA 2005
http://www.ki.or.id, Andi
Irawan, Ketahanan Pangan Yang Berpihak
Pada Petani(diakses tanggal 15
september 2008)
http://www.bappeda.jabar.go.id, Ketahanan Pangan
(diakses tanggal 15 September
2008)
http://www.zef.dc, Jonatan Lassa, Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005,
diakses 27 Agustus 2008
Kompas, 5
Februari 2005, RPJM dan Upaya Memutus
Lingkaran Setan
Republika, 06
Mei 2008, Gutomo Bayu Aji, Mencermati
Kebijakan Ketahanan Pangan