Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

LSM DAN GERAKAN ANTI KORUPSI : ANALISIS PERAN LSM DALAM MEMBANGUN KESADARAN ANTI KORUPSI DAN DALAM MEMERANGI TINDAK PIDANA KORUPSI DI KOTA SEMARANG


Oleh : Puji Astuti
PENDAHULUAN
Korupsi bukanlah sebuah fenomena baru di Indonesia, karena korupsi sudah sejak lama menjadi bagian dari aktivitas penyimpangan yang dilakukan oleh banyak pejabat publik untuk memenuhi keuntungan-keuntungan pribadi. Upaya pemberantasan korupsi pun juga bukan langkah baru yang dilakukan di Indonesia. Akan tetapi memasuki era reformasi dimana pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap persoalan pemberantasan korupsi, akan tetapi fenomena korupsi bahkan semakin massif seperti cendawan di musim hujan. Maraknya tindakan korupsi terutama oleh pejabat public di Indonesia bahkan kemudian memunculkan  asumsi-asumsi dan penilaian bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Asumsi dan penilaian ini nampaknya tidak tanpa dasar, dikarenakan  korupsi yang benar-benar  massif terjadi diberbagai institusi Negara juga korporasi, serta adanya kecenderungan sikap permisif masyarakat terhadap pelaku korupsi. Perilaku korupsi yang banyak dilakukan oleh pejabat negara ini tidak dapat dipisahkan  dari kondisi masa pemerintahan Orde Baru dimana rejim Suharto menciptakan pemerintahan yang sukar dokontrol oleh masyarakat, termasuk pengawasan terhadap pejabat Negara yang melakukan korup. Pemerintahan yang sangat sentralistik dengan pendekatan Top Down  melahirkan pemerintahan yang sangat kuat,  tidak dipungkiri membuat korupsi menjadi realitas yang tidak mudah disentuh oleh masyarakat.
Sesungguhnya upaya pemerintah Indonesia untuk memerangi korupsi sudah ada sejak lama. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya berbagai peraturan perundangan sebagai alat pencegahan dan jugan penindakan atas perilaku korupsi. Pada masa pemerintahan Orde Lama juga telah lahir peraturan untuk menanggulangi korupsi yaitu Prt.Peperpu.C13/1958 yang merupakan  Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat. Peraturan ini sesungguhnya cukup istimewa karena mengatur system pendaftaran harta benda pejabat public oleh Badan Penilik Harta benda, juga terdapat atuan tentang pengajuan gugatan perdata berdasarkan perbuatan melanggar hokum bagi orang yang mempunyai harta benda tak seimbang dengan pendapatanya ( kepemilikan harta tidak wajar). Peraturan ini dinilai lebih lengkap dibandingkan dengan peraturan sejenis yang lahir pada periode berikutnya, karena memuat upaya pemberantasan korupsi melalui jalur tuntutan pidan maupun gugatan perdata, disertai sistem preventif berupa pendaftaran harta benda pejabat. Sayangnya peraturan ini kemuadian dikoreksi melaui UU No 24 tahun 1960 yang justru menghilangkan jalur preventif gugatan perdata sehingga praktis pada masa Orde Baru upaya pemberantasan korupsi menjadi kurasng efektif, karena tidak mudah  untuk menyeret pelaku korupi ke meja hijau. Kenyataan ini memunculkan sikap pesimistik terhadap upaya pemberantasan korupsi. Keski pesimistik, tuntutan untuk memberikan perhatian terhadap persoalan korupsi tidak pernah surut.
Pada masa pemerintahan Orde baru tuntutan  untuk dilakukan tindakan tegas terhadap pelaku korupsi tetap ada, meskipun dalam kondisi yang pasang surut. Masyarakat tentu sangat jengah atas perilaku korupsi oleh rejim Suharto dan kroninya yang sangat jelas dan kasat mata. Akan tetapi pendekatan represif yang dilakukan oleh rejim Suharto menyebabkan masyarakat terkadang kehilangan semangat untuk melakukan perlawanan terhadap perilaku korpsi. Namun elemen yang barangkali cukup intens untuk menyuarakan pentingnya pengawasan dan sikap tegas dalam penindakan pelaku korupsi adalah LSM. LSM sebagai lembaga morlaba secara lantang dan intens mengajak segenap elemen masyarakat untuk menyadari pentingnya melawan korupsi, terutama karena dampaknya terhadap kemanusiaan. Nampaknya pemerintah Orde Baru juga berusaha merespon tuntutan masyarakat dengan mengesyahkan undang-undang Mo 3 tahun 1971, yang didalamnya memuat ancaman cukup berat bagi pelaku korupsi. Sayangnya undang-undang ini hanya sebuah  upaya pemenuhan tuntutan publik tanpa disertai komitmen yang kuat dari penguasa untuk melaksanakannya secara konsisten. Akibatnya undang-undang tersebut hanya garang di atas kertas, sehingga upaya pemberantasa  korupsi pun pada masa Orde baru dalam kondisi “mati suri” karena  undang-undang anti korupsi tidak pernah dipergunakan untuk menyeret pelaku ke meja hijau.
Pada masa pemerintahan orde reformasi, hasrat untuk membangun pemerintahan yang bersih pada awalnya sangatlah menggebu. Bahkan terpilihnya SBY sebagai presiden tidak lepas dari kampanye dan janji politiknya untuk memberantas korupsi jika terpilih. Pemerintah SBY sebagai representasi orde reformasi memang telah melahirkan berbagai peraturan untuk penanggulangan korupsi, dan juga melahirkan lembagalembaga ad-hoc yang diharapkan dapat memperkuat efektifitas pemerintah dalam penanggulangan korupsi. Sayangnya lahirnya berbagai peraturan dan lembaga ad-hoc ini tidak menghasilkan secara signifikan berkurangnya tindakan korupsi. Indek korupsi Indonesia sendiri bahkan tidak menunjukan secara signifikan pergeseran yang memuaskan. Selama sepuluh tahun terakhir Indeks Korupsi Indonesia tidak beranjank banyak sebagai salah satu Negara terkorup sebagaimana terlihat dalam table dibawah ini :
Peringkat Korupsi Indonesia
Tahun 2002-2012
No
Tahun
Nilai Indeks
Urutan
Jumlah Negara Yang Disurvey
1
2002
1,90
96
102
2
2003
1,90
122
133
3
2004
2,00
133
146
4
2005
2,2
137
159
5
2006
2.4
130
163
6
2007
2.3
143
180
7
2008
2,6
126
180
8
2009
2,8
111
180
9
2010
2,8
110
178
10
2011
3,0
100
183
11
2012
32
118
182
            Sumber : Transparansi Internasional,Desember 2012
Dari tabel  di atas memang menunjukan adanya pergeseran yang mengarah kepada perbaikan dalam upaya pemberantasan korupsi. Namun capaian indek tersebut masih jauh jika dibandingkan dengan target yang dipatok oleh pemerintah Indonesia yang di tahun 2014 mematok capaian indeks korupsi Indonesia ada di angka 5.0. Kondisi ini tentu memaksa peemrintah berupaya lebih keras dan konsisten. Terlebih jika kita menyadari bahwa dalam orde reformasi praktek korupsi bukan hanya terjadi pada institusi Negara di level pusat, akan tetapi justru semakin ekspansif menjalar kepada berbagai elemen pemerintahan yang ada di daerah. Kalau dulu korupsi terjadi pada lembaga-lembaga yang merepresentasikan pemerintahan yang sentralistik, maka sekarang pola dan pelaku korupsi juga identik dengan pemerintahan yang terdesentralisasi. Salah satu faktor pemicu yang dinilai menjadi akar munculnya korupsi yang massif di daerah adalah pemilihan kepala daerah secara langsung. Pilkada langsung membawa konsekuensi pada mahalnya ongkos yang harus dikeluarkan oleh kandidat, sehingga siapapun yang terpilih menjadi kepala daerah akan berusaha keras untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Pada awal berjalanya pemerintahan era reformasi, pejabat daerah yang banyak terjerat kasus korupsi adalah anggota DPRD, dengan modus yang dilakukan adalah anggaran fiktif, penggelapan bantuan sosial dan sebagainya. Kenyataan ini bisa terjadi karena pada era ini kedudukan anggota DPRD memang sangat kuat sehingga memunculkan sikap arogansi, termasuk arogansi dalam penggunaan anggaran daerah.  Begitu memasuki era pilkada langsung setelah diberlakukannya UU No 22 tahun 2004, maka korupsi di daerah bukan hanya menjerat anggota DPRD, akan tetapi juga Kepala daerah. Mulai dari Gubernur, Bupati, Walikota, silih berganti di berbagai daerah di Indonesia terjerat kasus korupsi, terutama dengan po;a penyalahgunaan APBD.  Tidak sedikit diantara kepala daerah yang terjerat korupsi adalah mereka yang juga pernah menorehkan  prestasi. Padahal dengan pilihan langsung para kepala daerah sesungguhnya telah menerima mandate dan kepercayaan langsung dari masyarakat. Oleh karenanya perilaku korupsi mereka sangat meluaki masyarakat. Yang lebih memprihatinkan adalah makin hari makin banyak pejabat daerah yang tersandung kasus korupsi.
Menurut Eko Prasojo (Kompas, 24 Januari, 2011) terkait Kepala daerah yang menjadi  tersangka korupsi  bisa dikategorikan menjadi dua yaitu mereka yang sejak awal memang diprediksi berpotensi menjadi koruptor, terutama karena modal sosialnya yang rendah sehingga terpaksa harus mengeluarkan ongkos politik yang mahal melalui politik uang dalam memperoleh dukungan. Tetapi di sisi yang lain ada kepala daerah yang terjerat korupsi karena ia tidak mau terkungkung oleh aturan-aturan standar normatif yang membatasi mereka untuk membuat kebijakan-kebijakan progresif untuk kemajuan daerah, sehingga mereka biasanya terjerat dengan pasal penyalahgunaan wewenang. Lebih jauh Eko Prasojo menyatakan bahwa banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi disamping karena ongkos politik yang mahal, juga karena penggunaan diskresi kepala daerah yang tidak terkontrol;  oligarki dan dinasti kekuasaan akibat lemahnya kontrol masyarakat terhadap persekongkolan antara birokrasi, politisi dan penegak hukum;  inkompabilitas sistem politik yang tidak berbasis ideologi politik dan merit system yang melahirkan kepala daerah yang opotnunis; lemahnya pengawasan pemerintah pusat dengan pemberian otonomi seluas-luasnya; dan juga lemahnya pengawasan masyarakat madani. Namun bagi Thomson (2002:119-122) adanya Gubernur atau Kepala daerah  yang melakukan korupsi dan penyelewengan karena para pejabat tersebut lupa bahwa mereka terikat olehstandar-standar perilaku yang berbeda dengan kebanyakan orang. Jabatan pemerintahan sesungguhnya harus dipahami sebagai kepercayaan (trust), dengan demikian maka para pejabat  mengenakan standar perilaku yang lebih tinggi daripada warga negara biasa. Tindakan-tindakan yang mungkin masih bisa diperbolehkan bila dilakukan oleh warga Negara biasa, bias jadi akan menjadi sebuah kesalahan criminal apanila dilakukan oelh pejabat. Lemahnya kesadaran inilah yang menyebabkan banyak pejabat melakukan pelangggaran moralitas, dan dari sinilah kebangkrutan  moral bangsa dimulai. Pergeseran penghargaan atas nilai-nilai moralitas telah menghambat munculnya semangat untuk menjadikan korupsi sebagai musuh bersama (common enemy). Kita mungkin cukup prihatin dengan adanya fenomena masyarakat yang permisif terhadap perilaku korupsi, karena sikap permisif ini akan menjadi penghambat dalam upaya-upaya preventif penanggulangan korupsi. Tetapi yang tidak kalah penting adalah perilaku korupsi pejabat publik yang sangat massif akan memunculkan penilaian negatif dari masyarakat bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam menangani kasus korupsi.
Realitas tentang menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam menangani kasus korupsi bukan tidak beralasan. Hal ini muncul karena masyarakat masih melihat fenomena tebang pilih dalam penanganan pelaku tindak pidan korupsi. Kondisi ini bisa terjadi bukan tidak mungkin karena adanya tekanan-tekanan politik terhadap otoritas yang berwenang dalam penanganan korupsi. Terlebih apabila tindakan korupsi ini melibatkan orang-orang dalam lingkaran kekuasaan baik yang berada di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Untuk Kota Semarang sendiri kaus korupsi yang cukup menarik perhatian adalah keterlibatan Walikota Sukawi Sutarip dalam kasus dana komunikasi dan mobilisai. Meskipun kasus ini sudah terangkat ke permukaan sejak tahun 2003, akan tetapi tidak ada titik terang, bahkan Kejati juga sudah mengeluarkan SP3. Kenyataan ini tentu memunculkan keprihatinan dan bagi kalangan LSM kasus Sukawi ini dinilai melukai rasa keadilan. Oleh kaenanya beberapa elemen LSM termasuk KP2KKN sampai saat ini masih mengajukan banding untuk dibukanya kembali kasus tersebut.
Terkait dengan tindak pidana korupsi oleh pejabat publik, Kota Semarang memiliki catatan yang cukup memprihatinkan, terutama karena banyaknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat teras, baik di eksekutif maupun di legislatif. Kenyataan ini tidak terlalu mengejutkan kalau di lihat dari perkembangan komitmen pemerintah Kota Semarang yang belum menunjukan kesungguhan dalam penangan korupsi. Hal ini dibuktikan dengan berbagai hasil penilaian mengenai Indeks persepsi korupsi daerah yang dikeluarkan oleh Transparansi Internasional ataupun hasil kajian KPK tentang Integritas Sektor Publik. Hasil  Kajian KPK menunjukan  dari 87 Kota yang dijadikan sampel, Kota Semarang berada di urutan 84 dengan indeks 3,61, yang artinya Kota Semarang menjadi Kota yang masih buruk dalam penanganan korupsi. Memang korupsi yang marak di berbagai daerah dipandang oleh para pelaku bisnis sebagai masalah utama dibandingkan masalah-masalah lain seperti infrastruktur yang belum memadai, birokrasi yang belum efisien, dam ketidakadilan dalam penegakan hokum. Bagi pelaku usaha, lembaga kepolisian, pajak, pengadilan dan kejaksaan merupakan lembaga-lembaga yang harus menjadi prioritas . Menurut Dedie A Rachim, Direktur Pendidikan dan Pelayanan KPK dalam sebuah seminar bertajuk “Akuntabilitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan APBD” yang dilaksanakan di Kota semarang tanggal 21 November 2012 menyatakan bahwa pemerintah daerah wajib bersungguh-sungguh melakukan upaya penanganan dan pemberantasan korupsi dengan dua cara yaitu pertama upaya pencegahan, yang bias dilakukan dengan cara antara lain : perbaikan sistem seperti reformasi birokrasi guna mendorong good governance; pelaporan gratifikasi; penetapanm kode etik profesi yang dijalankan secara konsisten dan diawasi dengan baik; penertiban asset Negara; dan juga pendidikan dan kampanye anti korupsi yang diagungkan di seluruh elemen masyarakat. Kedua upaya pemberantasan yang dapat dilakukan dengan  penindakan melalui koordinasi dan supervise; penyitaan asset hasil korupsi dan juga pelibatan masyarakat untuk aktif dan tidak bersifat permisif terhadap korupsi dan perilaku koruptif.
Melihat pentingnya pelibatan elemen masyarakat dalam pencegahan dan penindakan atas perilaku korupsi, nampaknya peran LSM begitu urgen. Keberadaan LSM yang memiliki integritas terhadap persoalan korupsi tidak dapat  dipandang sebelah mata,  karena tidak sedikit LSM yang memiliki  komitmen sangat kuat terhadap persoalan korupsi. Pentingnya melihat peran LSM Anti Korupsi juga tidak lepas  adanya fakta bahwa seringkali lembaga pemerintah yang memiliki tanggungjawab dalam penanganan korupsi juga tidak berdaya karena adanya tekanan-tekanan politik.Oleh karena itu LSM sudah selayaknya hadir sebagai institusi alternative dalam mengambil peran untuk membangun kesadaran anti korupsi dan juga dalam mengawasi penanganan tindak  pidana korupsi. Keberhasilan LSM dalam menjalankan perananya dalam upaya membangun kesadaran ati korupsi dan dalam mengawasi tindak pidana korupsi tentu saja tidak berdiri sendiri, tetapi juga membutuhkan dukungan dari institusi lain yang memiliki komitmen sama, termasuk juga dukungan media massa. LSM  anti korupsi dan media massa harus bahu membahu dalam menumbuhkan budaya dan sikap anti toleran terhadap perilaku korups,  juga dalam mengawasi penanganan tindak pidana korupsi. Di Kota Semarang sendiri keberadaan LSM anti Korupsi seperti PATTIRO dan KP2KKN merupakan LSM yang sangat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Yang perlu menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah sesungguhnya LSM Anti Korupsi membangun kesadaran anti korupsi di kalangan masyarakat ? Seperti apa pola-pola kegiatan yang dipilih untuk menumbuhkan sikap intoleran terhadap perilaku korupsi ? Bagaimana pula mereka membangun  jaringan kerjasama dengan media massa dalam penanganan tindak pidan korupsi ?
METODA PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang tujuannya adalah memberikan gambaran secara obyektif kondisi empirik kegiatan yang dilakukan oleh LSM dalam membangun kesadaran anti Korupsi dan dalam melakukan pengawasan terhadap tindak pidana korupsi. LSM yang dipilih sebagai obyek penelitian adalah PATTIRO dan KP2KKN. Pilihan  terhadap kedua LSM ini didasarkan pada pertimbangan rekam jejak dan  konsistensinya dalam membangun gerakan anti korupsi. Bagaimana LSM ini memberikan akses untuk memperkuat kesadaran pada masyarakat bahwa sikap intoleran terhadap korupsi merupakan sebuah kebutuhan mutlak dalam rangka membangun tata kelola pemerintahan yang baik dan dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih. Penelitian ini juga melakukan upaya recek terhadap kelompok masyarakat yang telah memperoleh pendampingan. Untuk memperoleh informasi dan data yang diperlukan dilakukan melalui wawancara mendalam (in-dept interview) yang kemuadian hasilnya dianalisis untuk bisa menarik kesimpulan dari rumusan masalah yang telah diajukan.
HASIL PENELITIAN
(1). Kasus Korupsi Di Kota Semarang
Semarang merupakan Kota yang cukup menarik untuk diperbincangkan, bukan hanya karena kondisi wilayah yang sangat unik karena memiliki pantai sekaligus wilayah perbukitan, tapi juga kaya dengan bangunan bersejarah yang sangat potensial untuk dijadikan obyek wisata. Tapi perilaku masyarakatnya juga dinilai cukup kondusif bagi dunia investasi karena tidak masuk dalam kategori masyarakat dengan sumbu pendek. Jika dikaitkan dengan persoalan korupsi, Semarang juga menjadi perhatian banyak pihak karena memiliki catatan yang cukup buruk terkait dengan korupsi. Dalam tiga tahun terakhir Semarang masuk 3 Kota/Kabupaten terkorup di Jawa Tengah. Kota Semarang juga memiliki catatan dua Walikota nya  terseret dalam pusaran kasus korupsi yaitu Sukawi Sutarip dan Soemarmo. Beberapa catatan Korupsi lain yang menyeret kalangan ekseskutif dan legislatif di Kota Semarang antara lain adalah :
a.       Kasus Korupsi dana Mobilisasi dan Komunikasi. Pada tahun 2008 Sukawi  ditetapkan sebagai tersangka kasus dana Mobilisai  bagi anggota DPRD dan dana komunikasi  bagi Ormas  dengan kerugian Negara mencapai 5 miliar.  Pada APBD tahun 2004 Pemerintah Kota Semarang mengalokasikan bantuan mobilitas bagi anggota DPRD sebesar Rp1,8 miliar dan bantuan komunikasi kepada organisasi kemasyarakatan sebesar Rp 2,19 miliar.
b.      Korupsi Dana Asuransi Fiktif Anngota DPRD Periode 1999-2004
Kasus ini bermula dari pelaksanaan program asuransi dana sejahtera abadi antara DPRD Kota Semarang dengan PT asaraya Life pada tahun 2003. Peogram asuransi ini menawarkan premi sebesar Rp 38,4 juta per orang untuk jangka waktu setahun dengan total premi kurang lebih Rp 1,7 miliar. Pagu asuransi tersebut diambil dari dana APBD sebesar Rp 1,836 miliar. Tetapi ketika dana cair sebesar Rp 1,728 miliar dana tersebut tidak disetor ke perusahaan asuransi, namun dibagikan kepada 45 anggota DPRD.
c.       Korupsi Pompa Air Pada Dinas Kebakaran
 Hasil audit BPKP menilai  kerugian Negara diperkirakan mencapai 4,3 miliar. Kasus ini bermula ketika BPBN memberi hibah sebesar Rp 10.7 miliar kepada Dinas kebakaran Kota Semarang, yang dalam rekomendasinya digunakan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi penanggulangan setelah bencana. Namun dalam kenyataan dana sebesar Rp 4,7 miliar digunakan untuk membeli 2 pompa air yang sejak pembelian hingga dipasang di Sedompyong, Kelurahan Kemijen tidak dapat dioperasikan. Kasus ini menyeret 4 pelaku yaitu  hdiat Ridho dan Puguh Susili dari pejabat Kota Semarang dan  2 lainya dari rekanan yaitu  Priyo Sanyoto dan Hening Suwaskito
d.      Korupsi Alkes RSUD Kota Semarang
Korupsi ini berawal ketika pada tahun 2010 RSUD Kota Semarang mendapatkan dana dari APBN sebesar Rp 24 miliar untuk pengadaan alat kesehatan dan dana APBD sebesar Rp 1,2  miliar untuk pos peningkatan tegangan listrik. Kasus ini muncul karena salah satu peserta lelang yaitu Hasan Umar selaku direktur CV Saba Mandiri  melaporkan ke Komisi D DPRD Kota Semarang bahwa pembelian alat kesehatan diminta menaikan sebesar 25 % dari harga dasar oleh direktur RS Abimanyua.
e.       Korupsi Kolam Retensi
Kasus ini berangkat dari proyek besar pemecahan rob dan banjir di Kota Semarang yang sudah dimulai sejak 19 maret 2010, dimana biaya pembebasan untuk lahan seluas 92, 387 m2 mencapai Rp 39,93 miliar. Biaya pembebasan lahan ini  yang mengundang dugaan terjadinya penggelembungan harga dalam pemberian ganti rugi.
f.       Korupsi Suap RAPBD Tahun 2012
Kasus ini terungkap ketika Sekda Kota Semarang pada tanggal 24 Novemver 2011 Akhmad Zaenuri  tertangkap tangan hendak menyerahkan uang sebesar Rp 344 juta kepada anggota DPRD Kota Semarang dari Fraksi PAN  Agung Purno Sarjono dan anggota Fraksi Partai Demokrat Sumartono. Pemberian suap tersebut bertujuan memperlancar pembahasan RAPBD tahun 2012 karena keterlambatan Kota Semarang dalam memberikan lampiran Kebijakan Umum Anggaran ataupun Prioritas Plafon Anggaran Sementara, yang seharusnya diserahkan paling lambat bulan Juli 2011 tapi baru diserahkan pada bulan Oktober 2011. Padahal sesuai ketentuan jika terjadi  keterlambatan DPRD tidak boleh melakukan pembahasan ataupun menyetujui RAPBD menjadi APBD. Kemudian dalam persidangan terungkap telah terjadi  kesepakatan akan adanya pemberian yang sebesar Rp 4 miliar untuk anggota DPRD dan Rp 1,2 miliar untuk ketua Partai apabila RAPBD disetujui menjadi APBD.
(2). Vonis dan Penanganan Kasus Yang Belum selesai
Penanganan berbagai kasus korupsi yang terjadi di Kota Semarang ada yang sudah mencapai tahapan vonis, ada yang masih dalam proses, ada juga yang kasusnya dihentikan karena dinilai kurang terpenuhimya unsur alat bukti terhadap kasus yang disangkakan, atau karena tersengka telah mengembalikan uang. Pro dan kontra, puas dan tidak puas mengiringi penanganan hukum berbagai kasus korupsi ini. Beberapa kasus masih mendapatkan perhatian dan pengawalam khusus dari LSM Anti Korupsi seperti KP2KKN, misalnya kasus Sukawi Sutarip yang telah SP3. Juga Kasus Korupsi Alat kesehatan yang yang ditangani oleh Kejati belum mampu mengungkapkan tersangka, ataupun kasus yang telah jelas-jelas terjadi pelanggaran pidana korupsi dalam kasus Hibah pada Dinas Kebakaran, tapi belum melakukan penahanan terhadap pelaku dengan alasan menunggu audit BPKP.
Kasus Sukawi Sutarip  tidak pernah mampu menyeret yang bersangkutan ke meja hijau. Bahkan Kejati menghentikan kasus tersebut yang diperkuat oleh surat dari Kejagung B406/A/FD/2008, yang menyebutkan bahwa kebijakan kolektif yang dibuat oleh penguasa pemerintah daerah dalam menetapkan anggaran APBD tidak dapat diuji yudikatif, kecuali melalui instrument uji materi di Mahkamah Agung. Ditu APBD Kota Semarang yang memuat dana mobilisasi dan komunikasi juga tidak dibatalkan oleh Gubernur. Sementara para ahli yang diajukan oleh Kejati memberikan penilaian bahwa pemberian dana komunuikasi kepada Ormas dan dana mobilisasi  kepada anggota DPRD merupakan hal yang wajar dan bukan pelanggaran pidana korupsi. Dana tersebut juga telah masuk dalam daftar anggaran satuan kerja (DASK) pada APBD tahun 2004 serta sudah dibuatkan perda No 10 tahun 2003 tentang APBD tahun 2004. Disamping itu dana mobilisasi dianggap hanya kesalahan administrasi dan anggota DPRD telah mengembalikan dana secara bertahan
Untuk Dana Fiktif asuransi anggota DPRD meskipun telah mengalami pasang surut dalam penangananya sejak disidik pertama pada tahun 2004,  pada  akhirnya seluruh tersangka telah dieksekusi. Terakhir eksekusi dilakukan terhadap 4 orang mantan anggota DPRD Periode 1999-2004 yaitu Elvi Zuhroh, Junaedi, AY Sujianto dan Purwono Bambang Nugroho, yang kasusnya menggantung cukup lama. Untuk kasus korupsi dana pompa air juga belum dilakukan penyidikan lebih jauh sehingga jika unsur terpenuhi maka akan segera bisa dilakukan eksekusi dan penahanan kepada para pelaku.Sampai sekarang  sejak kasus mencuat tahun 2010 belum ada tindakan penahanan kepada para pelaku. Kejaksaan belum  melimpahkan kasus ke tahap penuntutan  dengan alasan masih menunggu hasil audit dan pelaku Priyono Sanyoto selaku direktur CV Ganesha yang disangkakan melakukan pidana korupsi telah mengembalikan uang dengan menitipkan  kepada Kejari uang sebesar Rp 4.390.683.000. Demikian juga untuk kasus pembangunan kolam retensi sampai saat ini kejaksaan masih menelusuri kepastian aliran dananya.
 Untuk kasus korupsi alat kesehatan Kejati belum mampu menunjuk para pelakunya. Mestinya laporan dari Direktut CV Saba Mandiri Hasan Umar dapat menjadi dasar bagi kejaksaan untuk melakukan penyidikan. Namun menurut Kajati  upaya untuk mengundang pihak-pihak pemenang lelang sebagai saksi dalam  membuktikan dugaan terjadinya penggelembungan dalam pengadaan alat kesehatan tidak mudah,  karena pengambilan alat kesehatan tidak dilakukan langsung dengan produsen akan tetapi dengan distributor yang posisinya berada di luar kota.
Kasus yang cukup cepat penanganaya adalah kasus korupsi dugaan suap RAPBD Kota Semarang yang melibatkan Walikota Soemarmo, Sekda Akhmad Zaenuri, anggota DPRD Agung Purno Sarjono dan Sumartono. Kasus ini memang terekspose cukup luas yang kemudian penanganaya dilakukan oleh KPK. Semua pelaku telah dikenai vonis, Walikota Sumarmo oleh Pengadilan Tipikor Jakarta yang semula  dikenai vonis 1 tahun 6 denda 50 juta,  pada tanggal 13 Agustus 2013 karena dinilai terbukti melanggar UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tipikor, dengan mencoba member suap sebesar Rp 304 juta kepada 2 anggota DPRD Fraksi PAN Agung Purno Sarjono dan Sumartono dari Fraksi Demokrat dimana uang itu merupakan bagian komitmen dar 4 miliar yang akan dibesikan dalam pengesahan RAPBD menjadi APBD. Namun hukuman tersebut kemudian menjadi lebih berat ketika Sumarmo mengajukan Kasasi Ke MA, demikian juga jaksa penuntut umum. Keputusan MA menolak Kasasi Sumarmo dan menyetujui kasasi yang diajukan Jaksa penuntut Umum. Ketua Majelis Kasasi Hakim Agung Artidjo Alkostar menilai dasar pemberian vonis melalui  pasal 5 UU Tipikor dinilai tidak tepat karena yang disuap anggota DPRD bukan PNS, maka lebih tepat digunakan pasal 13, dengan member vonis 3 tahun penjara dan denda semula 50 Juta menjadi 100 juta. Demikian juga untuk Sekda yang oleh  oleh Hakim Tipikor Semarang divonis 1 tahun 5 bulan dan denda Rp 50 juta sunsider kurungan 2 bulan. Meski Pengadilan Tinggi Tipikor memperkuat vonis, akan tetapi Jaksa penuntut Umum mengajukan Kasasi dan putusan Mahkamah Agung member vonis lebih berat yaitu 2 tahun 6 bulan atau setahun lebih berat. Putusan MA ini merupakan keputusan tetap (inkrah). Demikian juga kedua anggotab DPRD yaitu Agung Purno Sarjono di vonis 3 tahun 6 bulan denda 50 juta subsider kurungan  3 bulan penjara dan Sumartono divonis 2 tahun 5 bulan denda 50 juta subsider 5 bulan penjara.
Meskipun upaya penanganan korupsi di daerah masih pasang surut, akan tetapi keberadaan KPK masih menjadi secercah harapan terhadap kesungguhan pemerintah dalam penanganan dan pemberantasan korupsi. Demikian juga keberadaan LSM anti korupsi akan menjadi kekuatan yang memberikan pemberdayaan kepada masyarakat untuk menjadi bagian dalam upaya pemberantasan korupsi dengan bersikap intoleran terhadap korupsi dan ikut berpartisipasi dengan mau melaporkan dan mengawasi jika terjadi tindak pidan korupsi.
(3). LSM Dan Peranananya Dalam Gerakan Anti Korupsi
Ketika pemerintah sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam penanganan berbagai tindak pidana,  termasuk tindak pidana korupsi ternyata tersandra oleh karena banyaknya pejabat Negara yang terlibat didalamnya, maka LSM mau tidak mau menjadi harapan bagi masyarakat untuk menjadi pengawas terhadap berbagai bentuk tindak pidana korupsi. Sebagai lembaga yang bersifat nirlaba dan sukarela maka LSM anti korupsi berdiri di atas sebuah komitmen untuk benar-benar mewujudkan suatu praktek pemerintahan yang bersih, karena pemerintahan yang bersih akan berdampak pada pencapaian kesejahteraan.  Di Kota Semarang sendiri bermunculan LSM yang berorientasi pada promosi anti korupsi. Akan tetapi LSM yang cukup intes adalah KP2KKN dan PATTIRO. Mereka terlibat dalam upaya preventif maupun kuratif
a.       Upaya Preventif dan Edukatif
Upaya preventif adalah upaya pencegahan yang bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan dan sosialisasi mengenai pentingnya nilai-nilai anti korupsi.  Dalam upaya ini kegiatan dilakukan dalam bentuk   kampanye, edukasi langsung kepada masyarakat melalui penyuluhan dan simulasi. Untuk  upaya preventif sejak tahun 2007 KP2KKN telah secara bertahap  masuk ke sekolah-sekolah untuk memberikan sosialisasi pentingnya bersikap intoleran terhadap korupsi. Pada tanggal  12 tahun 2010 bekerjasama dengan KPK dan TI misalnya pernah melakukan  upaya penyadaran (awareness) melalui pendidikan anti korupsi yang melibatkan 110 orang dari komponen Kepala Sekolah SD, SMP dan SMU serta kepala unit pelaksana dari 16 kecamatan yang ada di Kota Semarang. Para peserta memperoleh materi tentang anti korupsi dari para narasumber yang sangat kapabel baik dari KP2KKN, TI maupun KPK. Pada kesempatan itu pula mereka diminta menadatangani papan kesepakatan untuk bersikap anti korupsi dengan menggunakan dana alokasi khusus, biaya bantuan operasional dan anggaran pendapatan dan belanja sekolah secara transparan. Demikian juga dalam penerimaan siswa baru akan dilakukan secara jujur dan dapat diakses masyarakat, juga akan menerapkan pendidikan anti korupsi di sekolah.
Untuk Pattiro sebagai LSM lebih memberikan perhatian pada alokasi anggaran APBD yang ditujukan langsung pemanfaatanya bagi masyarakat. Dalam upaya preventif Pattiro lebih mendorong pada terbangunaya sistem yang member ruang bagi transparasnsi anggaran. Hal ini diungapkan oleh Ibu Dini Inayati selaku direktur Pattiro yang memberikan pernyataan sebagai berikut :
kami sebenarnya lebih cenderung mendorong pada perubahan sistem sehingga proses transaksi menjadi lebih transparan dan bisa diakses oleh masyarakat, misalnya dengan adanya LPSE atau lembaga pengadaan secara elektronik. Kemudian juga mendorong adanya Pakta Integritas kepada lembaga atau institusi yang sangat berkompeten dan berkepentingan dalam berbagai proses pekerjaan dengan pemerintah Kota Semarang melalui proses lelang atau tender, misalnya dengan Apindo selaku unsure pengusaha. Hal  ini penting karena salah satu sumber terjadinya korupsi adalah kongkalikong pejabat dengan pengusaha dalam lelang pengadaan barang dan jasa” (wawancara, Kamis 9 Oktober 2013)

Pengadaan barang dan jasa memang menjadi modus yang paling banyak dilakukan oleh pelaku korupsi, misalnya dengan memberikan proyek pengadaan kepada rekanan yang mau menaikan harga barang lebih tinggi dari harga dasar,  atau mau memberikan fee meskipun harga penawaran menjadi lebih tinggi. Namun bagi PATTIRO perbaikan sistem saja tidak cukup, perlu juga memberikan penyadaran kepada masyarakat agar memiliki keberdayaan untuk melawan korupsi, seperti diungkapkan oleh Ibu Dini berikut ini :
Disamping kami mendorong upaya perbaikan sistem yang dapat mengurangi peluang terjadinya korupsi, kami juga mendorong agar masyarakat semakin berdaya dan memahami bagaimana mereka berkontribusi dalam memerangi korupsi. Cara yang kami tempuh adalah dengan memberikan akses dokumen lengkap kepada masyarakat yang kebetulan menerima proyek dari pemerintah, sehingga mereka dapat melakukan pengawasan terhadap proyek tersebut apakah terjadi penyimpangan atau tidak. Jika terjadi penyimpangan maka kami menawarkan untuk melakukan pendampingan agr proyek bisa dilaksanakan sesuai dengan perencanaan. Contohnya dalam kasus MCK Plus di Kelurahan Kemijen Semarang Timur. Konsep ini kita namakan audit social” (wawancara hari kamis, 9 Oktober 2013)

Upaya preventif sebenarnya bukan persoalan mudah karena semua kembali kepada masyarakat.  Upaya penyadaran tidak bisa dilakukan sekali dua kali, akan tetapi harus menjadi upaya yang berkesinambungan. Dalam kontek penggunaan anggaran misalnya, PATTIRO telah melakukan pendidikan kepada para fasilitator musrembang kelurahan yang ada  di 16 Kecamatan dimana  jumlahnya mencapai 177 orang. Tapi dalam kenyataanya hanya beberapa yang memberikan respon positif.
b.      Upaya Kuratif
Disamping upaya preventif dan edukatif, LSM anti korupsi berperan pula dalam upaya kuratif.  Kalau PATTIRO  lebih bergerak pada ranah pencegahan, maka KP2KKN bergerak pada dua ranah yaitu ranah pencegahan dan ranah penindakan. Dalam ranah pencegahan KP2KKN melakukan upaya pendidikan anti korupsi, namun dalam ranah penindakan KP2KKN melakukan beberapa upaya antara lain :
1.      Proses investigasi terhadap pihak-pihak yang disangkakan melakukan tindakan korupsi
2.      Melakukan penekanan-penekanan kepada  penegak hukum untuk sungguh-sungguh dalam melakukan penanganan korupsi (dalam penyelidikan dan penyidikan)
3.      Menggandeng media massa untuk menyebarluaskan hasil investigasi.
4.      Melakukan upaya eksaminasi terhadap  putusan perkara yang dinilai tidak memenuhi rasa keadilan dan kemudian mempublikasikan secara luas.
Menurut Eko Haryanto, Sekretaris KP2KKN,  investigasi yang dilakukan oleh KP2KKN sangat penting karena untuk pintu masuk dalam meperoleh data yang valid sehingga dapat  memperkuat dugaan tindak pidana korupsi terhadap para pelaku, sebagaimana diungkapkan dalam kesempatan wawancara sebagai berikut :
Investigasi merupakan upaya kami untuk memperoleh data agar langkah kami dalam mengawal para pelaku korupsi benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya dalam kasus Hakim Kartini Marpaung, kita memulai dengan mencari kepastian tempat tinggal, kemudian melihat kebiasaan dan gaya hidupnya. Kita juga melakukan pengamatan apakah dia melakukan pertemuan-pertemuan di luar dengan pihak-pihak yang berperkara. Jika kita sudah memperoleh data yang memadai, maka kita sampaikan fakta tersebut kepada aparat penegak hukum agar segera melakukan langkah penyidikan dan penahanan. Terhadap kasus-kasus yang kami yakini memenuhi unsur pidana korupsi tetapi dihentikan prosesnya, kami mengajukan surat kepada Mahkamah Agung untuk dilakukan peninjauan kembali, seperti dalam kasus Sukawi Sutarip. Sampai saat ini kami masih melakukan pengawalan terhadap kasus-kasus korupsi yang memperoleh SP3”  (wawancara Jum’at, 10 Oktober 2013)

KP2KKN memang menjadi salah satu LSM anti korupsi yang paling intens melakukan pengawalan terhadap berbagai kasus korupsi di Semarang pada khusunya dan di Jawa Tengah pada umumnya. Terhadap kasus yang dinilai lamban penangananya, KP2KKN melakukan upaya penekanan dengan melakukan demo di depan  kantor penegak hukum seperti Powiltabes, Kejari, Polda, Kejati dan juga Pengadilan Tipikor. Simbol-simbol sebagai atribut ketidakpuasan juga sering dibawa dalam demo tersebut seperti penyerahan celana dalam dan BH dan penyerahan  telur busuk. Hal ini diharapkan dapat mendorong aparat untuk lebih serius dalam penanganan korupsi.
PEMBAHASAN
Bicara korupsi sesungguhnya bicara persoalan yang sangat kompleks, bukan hanya bicara masalah akar persoalan tetapi juga bicara masalah dampak dan upaya penanggulanganya. Korupsi di Indonesia merupakan persoalan bangsa yang sangat serius karena sudah terjadi secara massif di berbagai elemen pemerintahan dan berbagai tingkatan. Korupsi sejak era orde baru telah menjadi patologi birokrasi yang mewabah mulai dari pemerintahan di level nasional sampai ke pemerintahan di level terendah yaitu desa atau kelurahan. Manipulasi, kolusi, menjadi tindakan yang dinilai sebagai sebuah kewajaran. Sikap masyarakat pun menjadi sangat toleran dan permisif terhadap korupsi, yang menjadi penyebab makin masifnya tindakan korupsi. Jika pada mulanya korupsi banyak terjadi pada ranah Negara (state), maka sekarang korupsi juga merambah pada ranah masyarakat (Society). Korupsi dalam ranah Negara tidak dapat dilepaskan dari persoalan kekuasaan. Menurut Brasz (Dalam Mochtar Lubis dan James Scott, 1995:2-5) korupsi adalah hasil praktek kekuasan tanpa aturan hukum, dimana kekuasaan digunakan untuk tujuan lain selain tujuan yang telah ditetapkan dalam kekuasaan yang telah dilimpahkan atau juga dikenal sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan (detournement de pouvoir).  Bagi Mufti mubarok (2012:26) korupsi dan kekuasaan seperti dua sisi dari satu mata uang yang tidak dapat di pisahkan. Dimana ada kekuasaan maka potensi untuk melakukan korupsi selalu terbuka, begitu juga sebaliknya dimana korupsi dilakukan amak keterlibatan  pemebang kekuasaan menjadi abash adanya.
Sedangkan korupsi si ranah masyarakat terjadi karena tergerusnya nilai-nilai moralitas masyarakat. Hal-hal yang semua ditabukan oleh masyarakat kemudian dianggap menjadi sebuah kepantasan dan patut dilakukan. Apa yang dilakukan oleh masyarakat biasanya mengambil justifikasi apa yang dilakukan oleh pejabat Negara.  Jika pejabat Negara yang semestinya bertindak sesuai dengan standar moral yang lebih tinggi saja  melakukan pelanggaran, maka masyarakat biasa pun tidak masalah untuk melakukanya. Korupsi dalam ranah masyarakat terjadi karena belajar dari apa yang dilakukan oleh para pejabat Negara. Oleh karenanya korupsi di Indonesia bukan lagi hanya kisaran pencurian uang Negara, tetapi juga bangkrutnya nilai-nilai moralitas yang dapat mengancam harkat dan martabat bangsa di mata dunia. Persoalanya adalah mengapa korupsi di Indonesia begitu marak dan seolah sukar dihentikan lajunya meskipun upaya pemberantasan korupsi juga telah lama dilakukan oleh pemerintah ?
Menurut Krisna Harahap (2009:0-13)  korupsi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun karena adanya faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup dua hal yaitu adanya dorongan kebutuhan (corruption by need) dimana orang melakukan korupsi karena terpaksa akibat desakan kebutuhan dan dorongan ketamakan (corruption by greed), dimana orang melakukan tindakan korupsi karena keinginan kuat untuk hidup dengan kemewahan. Sedangkan faktor eksternal antara lain adalah lingkungan yang mendukung  seperti sikap masyarakat yang permisif terhadap tindakan korupsi, juga pengawasan yang tidak memadai. Korupsi yang semakin masif di Indonesia juga meluas dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Korupsi menjadi semakin terdesentralisasi dan semakin marak pada era otonomi yang sangat luar pada orde reformasi. Menurut Hadi Supeno dalam bukunya Korupsi di Daerah:  Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan (2009), korupsi  di daerah menjadi sukar terbendung karena korupsi menjelma menjadi sebuah aktivitas yang terencana, yang tersusun secara sistemik sehingga tidak mudah terdeteksi. Oleh karenanya penangananya juga mebutuhkan upaya-upaya sistemik.
Dari berbagai penelitian dan kajian mengenai praktek korupsi di daerah, khususnya di Jawa Tengah,  ada sejumlah sektor yang menjadi sumber tindak pidana korupsi yaitu :  Anggaran Daerah; Infrastruktur; Bantuan Sosial (bansos);Pendidikan; Perbankan; Program Pemberdayaan; Kesehatan; Kesejahteraan Pegawai; Swasta; Kependudukasn ; dan Olah Raga (Laporan Monitoring KP2KKN, tahun 2010). Hampir semua sektor dalam kasus korupsi selalu melibatkan birokrasi. Oleh karena itu perilaku korupsi birokrasi harus menjadi prioritas dalam penangananya baik upaya preventif maupun kuratif.
Korupsi di birokrasi memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh karena didalamnya menyangkut persoalan integritas moral dan mental yang telah terbangun di kalangan birokrasi. Demikian juga budaya materialistik di kalangan  masyarakat membuat korupsi lebih diwarnai oleh perilaku ketamakan. Akibatnya ruang untuk menghilangkan  korupsi menjadi semakin sempit, karena semua ruang di ranah Negara maupun masyarakat menjadi sangat terbuka bagi perilaku korupsi. Tetapi dengan kondisi yang demikian tidak berarti kita patah arang dalam upaya memerangi tindak perilaku korup.
Pengalaman susahnya membersihkan korupsi dari birokrasi bukan hanya dialami oleh Indonesia. Banyak Negara-negara maju juga pernah mengalami hal serupa, termasuk Amerika. Pada masa pemerintahan Reagan perilaku korup di kalangan pejabat federal begitu marak dikarenakan lemahnya pengawasan akibat kepemimpinan Reagan yang dinilai terlalu baik sehingga terkesan melakukan pembiaran terhadap pejabat yang korup. Demikian yang terjadi di Indonesia, meluasnya perilaku korup bisa jadi juga karena lemahnya penegakan hukum dan juga meluasnya sikap pemisif masyarakat. Oleh karenanya penanganan korupsi bukan hanya membutuhkan upaya represif akan tetapi juga upaya preventif. Upaya preventif dibangun dengan menumbuhkan budaya anti korupsi sebagai sebuah nilai baru . Belajar dari pengalaman Negara lain yang berhasil  melakukan pemberantasan korupsi secara baik menurut Hamzah (2005:5). Bukan ancaman pidana yang luar biasa beratnya yang diutamakan, tetapi sistem manajemen Negara yang rawan korupsi yang harus ditanggulangi lebih dahulu sebelum mengambil tindakan represif. Institusi-institusi yang rawan bagi terjadinya pembocoran dana harus ditata dengan membuat standar pengelolaan yang meminimalkan kebocoran. Langkah ini memang tidak mudah, terlebih  kalau perilaku korupsi ini telah mengakar dan  banyak elemen masyarakat yang diuntungkan oleh sistem yang lama. Oleh karenanya membangun budaya anti korupsi  sangat membutuhkan keterlibatan masyarakat, yang dimulai dengan  meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya yang akan terjadi apabila korupsi terus meluas. Mengembangkan budaya anti korupsi utnuk menagkal tindak korupsi yang telah mengakar tidak boleh mengingkari bahwa aspek”moral” sangatlah penting. Menurut Kumorotmo (2001:2016), ada tiga aspek penting sebagai cara menagkal korupsi yaitu : 1) Aspek Struktur sosial, yaitu sikap konsisten merupakan modal uatama.  Jika dalam masyarakat ada perlawanan terhadap korupsi maka akan ditemukan kekuatan untuk melawan korupsi dan sebaliknya; 2) Aspek yuridis, yaitu penegakan hokum yang tidak diskriminatif; 3) Aspek etika/ahlak manusia, yaitu adanya upaya-upaya yang mengarah pada faktor moral.
Perlawanan korupsi oleh masyarakat ternyata menjadi modal penting dalam memerangi perilaku korupsi. Oleh karenanya membangun penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya sikap intoleran terhadap korupsi merupakan sebuah kebutuhan mutlak.. Peran ini nampaknya akan sulit dilakukan oleh pemerintah, ketika kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga rendah, sebagai akibat banyaknya pejabat yang tersandera masalah korupsi. Oleh karena itu peran kelembagaan yang dibangun sendiri oleh masyarakat seperti LSM menjadi sebuah kemutlakan dalam memerangi korupsi.  Sebuah riset tentang memerangi korupsi yang terdesentalisasi di Indonesia yang dilakukan oleh Taufik Rinaldi dan kawan-kawan juga menemukan bahwa dari berbagai kasus korupsi di daerah yang terangkat ke permukaan tidak lepas dari peran LSM Lokal sebagai wadah perlawanan, dimana berbagai laporan tentang indikasi korupsi yang terungkap selalu menjadikan LSM sebagai ujung tombak pengunkapan dan pendorong dalam penyelesaian kasus. Secara karakteristik LSM berhasil mengungkap kasus tidak bekerja sendirian akan tetapi bekerjasama dengan elemen civil society serta pelibatan media massa. Sedangkan strategi yang diambil adalah dengan membangun basis-basis anti korupsi di tingkat komunitas dan membentuk koalisi bersama dengan elemen organisasi kemasyarakatan lain, serta membangun  kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk mendesakan tuntutan adanya proses hukum yang adil dan terbuka, juga selalu berusaha membangun kerjasama denga aparat penegak hukum yang reformis. Namun dari banyak strategi yang dilakukan, pelibatan media massa menjadi kunci keberhasilan, terutama dalam melakukan penekanan atas proses korupsi yang sedang berjalan.
Kemitraan juga menjadi strategi yang ampuh dalam penanggulangan korupsi sebagaimana yang selalu dilakukan oleh Transperancy International. Bagi Transperancy International (www.ti.bangladesh.org)  penanggulangan korupsi dilakukan dengan  melibatkan pemerintah, media, NGO, dengan beberapa cara yaitu :
1.      Work with government for policy reform and institutional changes: dissemination for awareness and opinion building through media campaign;
2.      Engage Citizens: lead public awareness and participation campaign (seminar, workshop); inform and advice the public; engage public officials and public representatives in motivational and specific action-oriented activities; creating integrity;
3.      Build Constituencies : working with media, NGO, engaging the youth as volunteers
Keberhasilan LSM seperti KP2KKN dan Pattiro dalam upaya pemberantasan korupsi  di Kota Semarang juga tidak lepas dari hasil kerjasama yang dibangun dengan media,  misalnya dengan mengikut sertakan unsur media dalam forum yang dibangun oleh LSM;  secara aktif selalu memberikan data kepada media dari hasil investigasi yang dilakukan; membangun hubungan-hungan informal secara pribadi dengan wartawan; melakukan pertemuan-pertemuan secara teratur dengan redaksi dari media lokal dan juga membuat program dan kegiatan yang member manfaat bagi media (kegiatan yang punya nilai berita).
PENUTUP
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam membangun kesadaran anti korupsi LSM  melakukan upaya preventif maupun upaya kuratif, bermitra baik dengan masyarakat, LSM lain maupun dengan media lokal. Namun kegiatan tersebut masih belum intens, terutama unruk upaya preventif melalui pendidikan anti korupsi,  karena keterbatasan dana sehingga  lebih mengandalkan pada mitra seperti IT , ICW maupun KPK. Padahal disadari betul bahwa upaya pencegahan jauh lebih baik. Oleh karena itu ke depan sebaiknya LSM juga bermitra dengan Perguruan Tinggi lokal untuk mengembangkan model pendidikan anti korupsi yang lebih luas.




 Daftar Petaka
Hamzah, Andi,2005, Pebandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Jakarta, Sinar Grafika
Harahap, Krisna, 2009, Pemberantasan Korupsi di Indonesia Jalan TanPa Ujung, bandung, Grafiti
Kumorotomo, Wahyudi, 2002, Etika Administrasi Negara, Jakarta, Raja Grasfindo Persada.
Lubis, Mochtar dan Scott James C, 1995, Bunga Rampai Korupsi, Jakarta, LP3ES
Mubarok,Mufti, Membongkar Sindikat Penjahat Negara: Modus Operandi dan Antisipasi, Surabaya, Reform Media
Rinaldi, Taufik, dkk, 2007, Fighting Corruption In Decentralized Indonesia: Case Studies on Handling Local Government Corruption
Supeno, Hadi, 2009, Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman dan Pengakuan, Yogyakarta, Total Media
Thomson,  Dennis F, 2002, (terjemahan Benyamin Molan), Etika Politik Pejabat Negara, Jakarta, yayasan Obor Indonesia

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 komentar:

Unknown mengatakan...

SAHABATQQASIA .COM AGEN DOMINO QQ AGEN DOMINO 99 DAN POKER ONLINE AMAN DAN TERPERCAYA
* Minimal DEPOSIT Rp 20.000,-
* Tersedia 7 game dalam 1 USER ID
*Bonus TO 0,3% Setiap 5 hari
*Bonus Refferal 15%
- Contact Us -
Website : SahabatQQ
Pin BB : 2BCD6D81
WA : +855-81734021
LINE : SAHABATQQ
YM : cs2_sahabatqq

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

Posting Komentar