Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

MALNUTRISI DAN KETAHANAN PANGAN



PENDAHULUAN

Salah satu tugas penting pemerintah terhadap warga negaranya adalah memberikan kesejahteraan. Upaya untuk mewujudkan kesejahteraan  tersebut dilakukan melalui kegiatan pembangunan. Karena mayoritas penduduk Indonesia  tinggal di pedesaan dan mengandalkan kehidupannya dari sektor pertanian, maka pembangunan sektor ini juga menjadi prioritas, tanpa mengabaikan kepentingan pembangunan di sektor lainnya.
Selama 30 tahun terakhir pembangunan Indonesia telah mencapai berbagai keberhasilan. Indonesia bahkan dinilai oleh Bank Dunia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang mencapai keajaiban dalam pertumbuhan ekonominya. Salah satu keberhasilan pembangunan Indonesia yang layak dicatat adalah ketika  mampu mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Keberhasilan ini juga dibarengi dengan kemampuannya dalam menurunkan angka kemiskinan, dimana jika pada tahun 1970  penduduk miskin tercatat ada sekitar 44 %, maka pada tahun 1996 jumlahnya turun menjadi tinggal 11 %. Namun sayang keadaan yang sangat ”ajaib” itu tiba-tiba harus berubah ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi pada tahun 1998.
Dampak krisis tahun 1998 telah menekan terhadap derajat kesejahteraan rakyat, terutama penduduk yang sebelum krisis berada dibawah garis kemiskinan, ataupun mereka yang berada sedikit diatas garis kemiskinan. Kelompok inilah yang paling banyak menerima dampak dari krisis tersebut sehingga pada akhirnya mereka  menjadi penduduk yang benar-benar miskin. Sejak terjadinya krisis,  pemerintah juga melakukan kebijakan yang kurang menguntungkan bagi kelompok ini seperti kenaikan harga BBM misalnya,  yang dampaknya membuat orang-orang miskin baik petani miskin maupun  nelayan miskin menjadi makin tidak mampu memenuhi kebutuhannya karena naiknya harga-harga kebutuhan pokok di pasaran. Akibatnya jumlah penduduk miskin meningkat jumlahnya. Baik di perkotaan maupun di pedesaan.  Meningkatnya angka kemiskinan ditandai oleh makin meluasnya penyakit yang rentan dialami oleh penduduk miskin,  dimana salah satunya adalah gizi buruk atau ,alnutrisi. Merebaknya penyakit gizi buruk, terutama yang dialami oleh anak-anak dinilai  banyak pihak sebagai kondisi yang perlu mendapatkan penanganan serius. Hal ini disebabkan anak-anak dengan gizi buruk akan kehilangan kesempatan emas untuk tumbuh secara normal, sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan hilangnya satu generasi. Lalu apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah terkait dengan fenomena tersebut ? Sejauh mana hubungan kemiskinan dengan gizi buruk ? Bagaimanakah kebijakan ketahanan pangan dilaksanakan untuk mengatasi kemiskinan dan gizi buruk ?

FENOMENA GIZI BURUK  ATAU MALNUTRISI
Maraknya pemberitaan tentang penyakit gizi buruk yang dialami oleh anak-anak di berbagai daerah di Indonesia menjadi suatu pukulan yang menyakitkan bagi kita semua. Indonesia sebagai negara yang memiliki sumberdaya alam begitu melimpah  menjadi sebuah ironi ketika ternyata ada sebagian penduduknya yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Pepatah yang menyatakan  Tikus Mati Di Lumbung Padi” nampaknya cocok untuk menggambarakan kondisi ini.  Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sejak Indonesia dihantam badai krisis, jumlah masyarakat miskin di Indonesia terus bertambah. Kelompok masyarakat ini merupakan kelompok yang sangat rawan karena kemiskinan telah menyebabkan mereka tidak lagi memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangannya, bukan saja karena tidak mampu membeli, akan tetapi lebih diperparah lagi karena rendahnya ketersediaan pangan di wilayahnya.
Kekurangan pangan yang berkelanjutan nampaknya menjadi fenomena yang tidak hanya dialami oleh Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, ketersediaan pangan yang terus menurun akan menjadi ancaman  serius terjadinya kekurangan gizi musiman ataupun tetap bagi sejumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk yang kurang gizi pada tingkat gizi buruk kebanyakan dijumpai diantara kelompok yang paling rawan, misalnya pada bayi dan anak-anak sekolah, wanita hamil dan menyusui, penderita sakit dan yang dalam penyembuhan serta penderita cacat atau mereka yang diasingkan dan para jompo.
Di Indonesia  jumlah penderita gizi buruk terus meningkat, terutama pada anak-anak. Gizi buruk adalah keadaan gizi kurang hingga tingkat yang berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang lama. Kasus gizi buruk memasuki tahun 2013 masih banyak terjadi di berbagai daerah sejak marak pemberitaanya di tahun 2005, termasuk di daerah-daerah yang menjadi lumbung pangan seperti di Nusa tenggara Barat. Penyebab gizi buruk yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia ini disebabkan tidak hanya karena faktor kekurangan pangan akibat kemiskinan, tetapi juga disebabkan karena pola asuh dan pola makan. Meningkatnya jumlah penderita gizi buruk di Indonesia oleh banyak kalangan dinilai sebagai fenomena gunung es, yang didalamnya menyimpan sejumlah fakta lain yang belum muncul ke permukaan.
Berbicara masalah gizi buruk mau tidak mau terkait dengan masalah ketersediaan pangan. Pangan dan gizi telah menjadi isu dalam konteks mikro, yaitu berupa kebutuhan di dalam tubuh manusia dan juga dalam konteks makro dimana masalah pangan  dikaitkan  dengan aspek-aspek sosial, ekonomi dan juga budaya. Oleh karenanya ketersediaan pangan yang cukup menjadi sangat berarti untuk pemenuhan gizi dan kelangsungan hidup manusia. Menurut Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1946 Artikel 11 (1)  menyatakan bahwa “ setiap orang mempunyai hak atas standar hidup yang memadai untuk memperoleh kesehatan dan kesejahteraan bagi dirinya, keluarganya, termasuk makanan…”. Demikian juga Deklarasi Ketahanan Pangan Dunia yang dicanangkan di Roma pada tahun 1996 memutuskan  pentingnya seseorang memperoleh akses terhadap makanan yang cukup, bergizi dan aman bagi tubuhnya.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara khususnya, kecuali beras, maka tingkat konsumsi per kapita per tahun rakyat Indonesia terhadap daging, ikan, buah-buahan, telur, masih rendah. Hal ini akan dapat menyebabkan hambatan terhadap upaya peningkatan kualitas SDM karena secara signifikan dibuktikan bahwa perbaikan kualitas SDM berhubungan  dengan kualitas gizi yang dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat. Sementara upaya untuk mengupayakan perbaikan gizi bukanlah persoalan mudah karena adanya sejumlah tantangan, terutama pertumbuhan penduduk yang masih tingi. Pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini sekitar 1,7 % per tahun dan diperkirakan  pada tahun 2025 penduduk Indonesia mencapai 300 juta jiwa. Hal ini menyebabkan Indonesia menghadapi tantangan ganda  berupa  peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan akibat pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita. Namun bukti empirik menunjukan bahwa pemenuhan kebutuhan pangan menjadi persoalan yang kritis mengingat Indonesia juga masih memiliki kemampuan yang rendah dalam  menjamin ketersediaan pangan.
Rendahnya kemampuan dalam menyediakan ketersediaan pangan disebabkan karena secara terus menerus terjadi penurunan produktivitas pangan akibat menyusutnya lahan pertanian ataupun karena rendahnya nilai tukar hasil pertanian yang menyebabkan para petani enggan untuk menjadi petani,  sementara tingkat kebutuhan pangan sendiri terus meningkat akibat pertambahan penduduk. Alih fungsi lahan pertanian  khususnya di Jawa menjadi hal yang sangat nyata dimana dalam 10 tahun terakhir diperkirakan tingkat pengalihan fungsinya mencapai 13.500 hingga 22.500 hektar per tahun. Kondisi inilah yang menjadi awal munculnya ketahanan pangan yang lemah, yang kemudian diperparah oleh ketergantungan kita terhadap pasokan pangan dari luar. Ketika harga pangan dunia naik, maka dipastikan Indonesia akan menjadi salah satu negara yang mengalami krisis pangan. Krisis pangan  yang kemudian memunculkan terjadinya fenomena gizi buruk yang hampir merata terjadi di seluruh wilayah Indonesia.  Secara singkat akibat kekurangan gizi yang disebabkan oleh kekuranagn pangan atau kelaparan dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 1.
Dampak Kekurangan Pangan Pada Pengembangan Fisik, Kesehatan dan sosial
Sumber :  Fransiska Rungkat Zakaria,dalam Yusuf Sutanto, 2006: 243

Banyak faktor  menyebabkan seseorang mengalami kekurangan pangan, yang merupakan cermin dari lemahnya ketahanan pangan (food security). Penerapan hak asasi manusia atas kecukupan pangan yang telah disepakati bersama seharusnya diterjemahkan dalam  bentuk undang-undang, yang menjamin setiap pemerintah wajib mengupayakan kecukupan pangan bagi warga negaranya. Agar supaya setiap individu dapat terjamin kecukupan pangan maka penting dikembangkan sistem ketahanan pangan, baik yang bersifat mikro maupun yang bersifat global.
KETAHANAN PANGAN
Ketahanan pangan terus  menjadi isu global, terlebih  karena diyakini bahwa pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang tidak akan mengalami pertumbuhan yang bersifat mendatar lebih cepat dalam waktu 50 tahun mendatang. Untuk menghadapi tantangan ini  maka komunitas global secara bersama-sama telah menetapkan target yang diharapkan dapat direalisasikan pada tahun 2015 melalui apa yang disebut Millenium Development Goals  ( MDGs ), yang mencakup didalamnya antara lain  :
  1. Menghilangkan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim
  2. Mencapai pendidikan dasar yang universal
  3. Mempromosikan kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan
  4. Megurangi kematian anak
  5. Memperbaiki kesehatan ibu
  6. Melawan HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain
  7. Menjaga kelestarian lingkungan
  8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Untuk memenuhi agenda MDG -1 bukanlah persoalan mudah karena masih banyaknya jumlah penduduk  dunia yang terjebak dalam kemiskinan dan kekurangan pangan. Konsep  ketahanan pangan sendiri sebenarnya muncul pertama kali tahun 1974 ketika dilaksanakan konferensi pangan dunia.  Sejak inilah berbagai definisi menyangkut ketahanan pangan (food security) muncul dengan berbagai perspektif,  dari perspektif pangan sebagai kebutuhan dasar (food first perspective) sampai pada persrpektif pangan sebagai penghidupan (livehood perspective) dan sejak tahun 80 an diskursus ketahanan pangan secara global fokus pada aspek hak atas pangan (food entitlement), resiko dan kerentanaan (vulnerability). Perspektif ini sebenarnya dipelopori oleh Amartya Sen, yang mengganggap kaum Maltusian gagal mempertahankan argumentasinya bahwa ketahanan pangan semata-mata ditentukan oleh produksi dan ketersediaan. Berbagai penelitian yang dilakukan Sen di India dan Afrika memperlihatkan bahwa kelaparan dan terjadinya fenomena ketidak-tahanan pangan disebabkan karena ketiadaan akses atas pangan, sekalipun pada saat produksi pangan melimpah.
Ketahanan pangan sendiri oleh Bank Dunia didefinisikan sebagai ”akses terhadap kecukupan pangan bagi semua orang pada setiap saat untuk memperoleh tubuh yang sehat dan kehidupan yang aktif ” ( Dikutip oleh Zakaria, dalam Yusuf Sutanto, 2006:245). Sementara menurut PP No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, pada ketentuan umum pasal 1 (1) dinyatakan bahwa ”ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terkjangkau”.  Konsep ketahanan pangan sebenarnya didasarkan atas akses individu atau rumah tangga terhadap pangan.  Membahas ketahanan pangan secara komprehensif menurut FAO ( http://www.ki.or.id ) akan mencakup tiga aspek penting yaitu pertama aspek ketersediaan (availability), yaitu jumlah pangan yang tersedia harus mencukupi kebutuhan rakyat, baik bersumber dari produksi domestik maupun impor;  Kedua, keterjangkauan (accessibility) baik keterjangkauann secara fisik yang mengharuskan bahan pangan mudah dicapai individu atau rumah tangga, maupun keterjangkauan  ekonomi dimana kemampuan memperoleh atau membeli pangan berkaitan dengan daya beli masyarakat; ketiga, aspek stabilitas (stability) yaitu kemampuan minimal terjadinya konsumsi pangan berada dibawah level kebutuhan standar pada musim-musim sulit (paceklik atau bencana alam).
Sementara itu Maxwell  (http://www.zef.dc) mengususlkan sedikitnya ada empat elemen terkait dengan katahanan pangan yang berkelanjutan (sustainable food security) di level keluarga yakni : Pertama, kecukupan pangan, yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat; Kedua, akses akan pangan, yaitu hak untuk berproduksi, membeli atau menukarkan pangan atau menerima sebagai pemberian; Ketiga, ketahanan yang diartikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, resiko dan jaminan pengaman sosial; Keempat, fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat bersifat kronis, transisi dan atau siklus.
Indonesia sendiri sejak lama cenderung memaknai ketahanan pangan identik dengan swasembada beras. Konsep ini dilembagakan sejak pemerintahan Orde Lama hingga pemerintahan Orde Baru, bahkan berlanjut pada saat Orde Reformasi, yang menekankan pentingnya peran lembaga penjamin ketersediaan beras seperti Bulog. Sejak tahun 1952 Indonesia bergumul dengan upaya mencapai swasembada beras, dan dapat dicapai pada tahun 1984, tetapi tidak mampu dipertahankan secara berkelanjutan. Kegagalan untuk mempertahankan swasembada beras nampaknya harus menjadi pembelajaran untuk merubah cara pandang terkait dengan ketahanan pangan. Hal ini penting karena dalam kenyataanya bicara masalah ketahanan pangan bukan hanya persoalan swasembada pangan.  Gambaran tentang swasembada pangan tidak identik dengan ketahanan pangan  dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2
Ketahanan Pangan versus Swasembada Pangan


Ketahanan Pangan
Ketidak-tahanan Pangan
Swasembada Pangan
A
B
Contoh : USA, Kanada, Australia, Brunei,  etc.
Contoh : Myanmar, Indonesia, Filipina
Tidak Swasembada pangan
C
D
Contoh : Norwegia, Jepang, Singapura, etc.
Contoh : Malawi, Eritrea, Kenya, Kongo, East Timor.
Sumber :  Jonathan Lassa (http://www.zef.dc)

Tabel diatas memperlihatkan bahwa negara-negara yang masuk kategori A memiliki kapasitas pangan yang paling kuat, karena memiliki kondisi pangan ideal dimana mereka bukan saja mampu berswasembada pangan tetapi sekaligus memiliki ketahanan pangan yang kuat. Negara-negara dalam kategori C, meskipun mereka tidak berswasembada pangan, akan tetapi mereka memiliki fondasi ketahanan pangan yang lebih baik dibandingkan dengan negara-negara dalam kategori B, yang bisa melakukan swasembada pangan tetapi  mempunyai kapasitas yang lemah di bidang ketahanan pangan. Negara yang masuk kategori D merupakan negara yang sangat rentan karena disamping tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan swasembada pangan, sekaligus tidak mampu menciptakan ketahanan pangan. Negara-negara inilah yang menjadi prioritas intervensi internasional dalam  memperoleh bantuan pangan.
Bagi Indonesia sendiri, melakukan redifinisi kebijakan ketahanan pangan nampaknya menjadi sebuah keharusan. Hal ini mengingat aspek ketahanan pangan dalam dinamikannya saat ini juga dipengaruhi oleh kecenderungan globaliasasi pangan, dimana Indonesia sendiri telah menjadi bagian dari negara-negara di dunia yang tidak bisa mengandalkan pemenuhan kebutuhan pangannya pada produksi pangan domestik. Globalisasi sebagai model ekonomi, dengan ideologi dasarnya adalah perdagangan bebas dan  liberalisasi pasar uang dan modal,   pada awalnya diharapkan dapat menciptakan tata ekonomi yang lebih adil dengan menyebarkan kemakmuran ke seluruh masyarakat di dunia. Tetapi dalam prakteknya kebijakan rejim global hanya mempertahankan kemakmuran bagi pihak-pihak kaya, dan  makin  membenamkan  masyarakat  di negara-negara berkembang dalam perangkap kemiskinan,  karena adanya upaya secara terstruktur  mereduksi akses warga miskin terhadap pangan dan pelayanan sosial yang vital. Dalam dua dasawarsa terakhir,  sistem pangan dunia benar-benar  menghadapi arus kuat globalisasi, yang membuat makin banyak negara-negara berkembang terperangkap didalamnya.
Arus kuat globalisasi pangan ini tidak dapat dipungkiri telah memberikan dampak tersendiri terhadap kondisi pangan di Indonesia. Munculnya aneka macam buah-buahan dan sayuran segar serta berbagai item pangan olahan impor di berbagai super market, bahkan merambah pasar-pasar tradisional menjadi salah satu bukti kehadiran dari globalisasi pangan. Globalisasi pangan ini tentu akan membawa sejumlah dampak, dan salah satunya adalah  terhadap ketahanan pangan dan pertanian lokal. Hal ini disebabkan terbukanya pasar menyebabkan banyak negara, termasuk Indonesia melakukan  impor sebagai strategi utama dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Akibatnya tingkat ketergantungan terhadap impor bahan pangan menjadi sangat tinggi, sehingga  ketahanan pangan mereka menjadi rapuh.
Rapuhnya ketahanan pangan menjadi kondisi yang memprihatinkan bagi Indonesia. Hingga akhir bulan Februari 2008 FAO mengumumkan ada 36 negara mengalami krisis pangan akibat kenaikan harga komoditas pangan (http://www.detikfinance,). Krisis pangan di Indonesia selain diakibatkan oleh melonjaknya harga pangan dunia, juga diperburuk dengan adanya berbagai bencana alam seperti gempa, banjir dan juga tanah longsor. Krisis pangan di Indonesia telah menjadi ujian berat dari upaya mengembangkan ketahanan pangan, yang ternyata masih jauh dari harapan. Indonesia bahkan menjadi salah satu negara yang masuk dalam perangkap krisis pangan global.  Untuk tidak makin tenggelam dalam perangkap pangan global, maka pemerintah perlu makin serius dalam penanganan kebijakan ketahanan pangan, terutama dengan mengurangi tingkat ketergantungan pangan pada pihak manapun.
Ketahan pangan sendiri melibatkan tiga subsistem sebagaimana aktivitas ekonomi pada umumnya yaitu produksi, distribusi dan konsumsi. Produksi berkaitan erat dengan ketersediaan pangan,  distribusi terkait dengan efisiensi pasar dan konsumsi berhubungan dengan aspek kualitas, jumlah, keragaman dan keamanan bahan pangan. Ketiga sub sistem ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam mewujudkan ketahanan pangan.

Gambar 1
Sistem Perdagangan Pangan  Lokal dan Global
Sumber : Achmad Suryana. 2003. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan


Untuk menghadapi tantangan tersebut, meskipun tidak ada satu negara di dunia yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri dari produksi domestik, akan tetapi kita harus mampu merumuskan seberapa besar prosentase  ketergantungan kita terhadap produk pangan impor. Malaysia sebagai contoh,  telah meredifinisi ulang ketahanan pangannya dengan swasembada pangan nasional 60 % dan sisanya sebanyak 40 % diperoleh dari impor pangan. Upaya redifinisi ini penting, mengingat secara internal Indonesia menghadapi sejumlah tantangan seperti tuntutan untuk dilakukannya proteksi terhadap kepentingan petani dan juga terpenuhinya kebutuhan pangan murah bagi masyarakat miskin perkotaan. Kebijakan untuk menghadapi tantangan ini  tidak sebatas pada aspek produksi, akan tetapi harus dapat menjawab persoalan yang lebih substansial berupa akses atas pangan  yang berkualitas dengan  harga yang terjangkau.
Berbeda dengan kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencoba menawarkan kebijakan baru terkait dengan ketahanan pangan  melalui konsep revitalisasi pertanian. Kebijakan ini secara jangka panjang ditujukan untuk menjamin ketahanan pangan nasional, yang  bukan hanya akan menjamin  keamanan dalam ketersediaan pangan, tetapi juga berkurangnya ketergantungan pada pasokan pangan dari luar, dengan mengupayakan daya dukung sektor pertanian secara lebih komprehensif.

REVITALISASI PERTANIAN
 Dalam sejarah perekonomian Indonesia, sektor  pertanian memiliki posisi yang strategis, antara lain  sebagai sumber penyedia konsumsi makanan, sumber bagi sebagian tenaga kerja mencari kehidupan dan sebagainya. Sampai saat ini sektor pertanian masih menyerap tenaga kerja terbesar yaitu  sekitar 44,04 % . Namun sayang daya serap tersebut belum dibarengi oleh optimalisasi produktivitas pertanian itu sendiri. Untuk dapat meningkatkan kembali produktivitas pertanian, kebijakan revitalisasi pertanian menjadi sebuah keharusan,  dengan penanganan yang menuntut kesungguhan lebih besar lagi.  Melalui kebijakan revitalisasi, sektor pertanian ini diharapkan bukan hanya menjadi jaring pengaman sosial (Social safety Net) akan tetapi dapat memainkan peranan yang lebih strategis sebagai pilar yang kokoh bagi ekonomi nasional di tengah derasnya persaingan ekonomi global.
Kebijakan revitalisasi sektor pertanian sendiri sebenarnya bukan  sesuatu yang  baru karena telah lama digulirkan, bahkan  sejak pemerintahan Orde Lama. Namun kebijakan-kebijakan tersebut belum dapat menghasilkan percepatan pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian, sehingga peningkatan kesejahteraan bagi petani pun menjadi terhambat. Kebijakan revitalisasi pertanian ini oleh pemerintahan Yudhoyono kembali dicanangkan pada tangga 11 Juni tahu 2005, berupa peluncuran program Revitalisai Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK),  sebagai salah satu upaya mendorong pertumbuhan perekonomian pedesaan dan mengatasi kemiskinan. Dalam laporan Kompas yang berjudul ” RPJM dan Upaya Memutus Lingkaran Setan” dikutipkan pendapat Presiden dalam pidato pencanangan Revitalisasi Pertanian yang menyatakan keinginan pemerintah untuk mentargetkan pertumbuhan  ekonomi  mencapai 6,6 % per tahun selama tahun 2005-2009, pengangguran turun dari 9,5 % menjadi 5,1 % di tahun 2009 dan angka kemiskinan turun menjadi 8,2 % pada tahun 2009. (Kompas, 5 Februari 2005).
Munculnya  kembali  upaya untuk mengembangkan kebijakan revitalisasi pertanian sebenarnya berangkat dari sebuah kesadaran mengenai arti pentingnya  pertanian bagi seluruh kehidupan rakyat Indonesia. Menurut Bayu Krinamurthi ( dalam Yusuf Sutanto, 2006:5-6), Revitalisasi pertanian memiliki tiga pilar pengertian yaitu : pertama, pengertian revitalisasi pertanian sebagai kesadaran akan pentingnya pertanian-dalam arti vitalnya pertanian bagi kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia; Kedua, revitalisasi pertanian sebagai bentuk rumusan harapan masa depan akan kondisi pertanian; dan Ketiga, revitalisasi pertanian sebagai kebijakan dan strategi besar melakukan ”proses revitalisasi” itu sendiri. Dari ketiga pilar pengertian tersebut, pada akhirnya revitalisasi pertanian harus dipahami sebagai usaha strategis untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat dan mengurangi kemiskinan serta  membangun ketahanan pangan.
Revitalisasi pertanian menjadi sebuah kebijakan prioritas karena  sektor pertanian di Indonesia selama dua dekade terakhir ini menunjukan kondisi yang memprihatinkan, baik  dilihat dari aspek kesejahteraan petani, kemandirian pemenuhan kebutuhan maupun  dari perkembangan pertanian itu sendiri. Dari aspek kesejahteraan, BPS mencatat  sekitar 82,7 % Rumah Tangga Pertanian dikategorikan miskin. Dari aspek pemenuhan kebutuhan, tingkat kemandirian kita masih rendah karena  kebutuhan pangan kita masih dipasok oleh luar, baik beras, sayuran, buah-buahan, daging dan sebagainya. Sementara dari perkembangan pertanian menunjukan makin menurunnya produktivitas hasil-hasil pertanian Menurunnya produktivitas pertanian  antara lain disebabkan oleh karena menurunnya luasan penguasaaan lahan dan juga menyusutnya lahan persawahan. Meluasnya aktivitas konversi lahan pertanian menjadi masalah yang serius, mengingat konversi tersebut dilakukan atas lahan persawahan yang produktif.
 Penyusutan lahan persawahan nampaknya menjadi masalah keagrariaan yang memerlukan penanganan sungguh-sunguh dan komprehensif. Jika penyusutan lahan persawahan terus-menerus dibiarkan, maka posisi petani kita terancam tidak mampu lagi bertahan sebagai penjaga ketahanan pangan kita. Sebagai penjaga ketahanan pangan petani harus dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatannya, sehingga kemandiriannya secara ekonomi lebih terjamin.  Namun petani sendiri menurut Andi  Irawan (http://www.ki.or.id), sering menghadapi kesulitan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatannya karena sejumlah kendala yaitu : Pertama, kendala struktural sumberdaya lahan., dimana sebagian besar petani kita adalah petani dengan lahan sempit atau sering disebut sebagai petani gurem;  Kedua, rendahnya akses terhadap input pertanian penting; Ketiga,  minimnya akses terhadap dana dan modal; serta Keempat, banyaknya masalah pada pemasaran output mereka  Kebijakan revitalisasi pertanian harus diarahkan untuk memutus rantai penghalang bagi petani dalam memperoleh keadilan baik  terkait aspek produksi, distribusi maupun konsumsi. Petani harus benar-benar menjadi penyedia kebutuhan pangan, memperoleh keadilan harga dalam memasarkan hasil,  serta memiliki jaminan untuk tetap bisa mengkonsumsi pangan yang sehat. Intinya adalah bahwa kebijakan revitalisasi pertanian tidak lagi terbatas berorientasi pada swasembada pangan tetapi lebih mengarah pada upaya pencapaian ketahanan pangan. Oleh karenanya ke depan strategi kebijakan untuk menjaga ketahanan pangan nasional sekaligus meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani harus dapat mencakup tiga aspek penting yaitu :
  1. Kebijakan yang berorientasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi pedesaan sekaligus meningkatkan produksi pangan nasional. Untuk mendukung keberhasilan kebijakan ini perlu dilaksanakan program redistribusi tanah pertanian, yang memberikan akses minimum bagi petani dalam kepemilikan lahan. Disamping itu perlu ada kebijakan akses petani terhadap lembaga kredit  dan input penting lainya seperti pupuk dan bibit unggul. Redistribusi tanah pertanian oleh banyak kalangan dinilai sebagai kebijakan yang cukup mendesak, karena karena menurut Khudori ( dalam Usep Setiawan,2004: 73),  ketimpangan struktur penguasaan tanah inilah yang sesungguhnya dinilai sebagai sumber penyebab kemiskinan di pedesaan. Kenaikan presentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan mengindikasikan semakin miskinnya petani.
  2. Kebijakan yang berorientasi menjaga aspek keterjangkauan pangan dengan memperbaiki akses ketersediaan pangan di wilayah-wilayah yang potensial mengalami rawan, termasuk program perlindungan sosial pangan berkala dan diversifikasi pangan.
  3. Kebijakan yang berorientasi menjaga stabilitas ketahanan pangan  antar waktu  melalui program impor pangan secara selektif dan juga pelibatan terhadap lembaga tradisional yang berfungsi sebagai penyangga logistik antar musim seperti lumbung desa misalnya.
Kebijakan revitalisasi pertanian hanya akan berhasil apabila didukung adanya semangat yang tinggi untuk mengubah mind set tentang pertanian.  Perlu merubah pandangan tentang pertanian sebagai sektor yang membuat orang bukan hanya bisa menghidupi dirinya sendiri, akan tetapi melalui pertanian orang bisa menjadi kaya dan terhormat. Perubahan mind set ini tentu membutuhkan proses sosialisasi, pendidikan dan pembudayaan secara sistematik.
Disamping itu perlu dibangun paradigma baru  pembangunan pertanian sebagai usaha terstruktur menciptakan keberdayaan petani. Oleh karenanya petani harus diberikan akses yang luas untuk memperoleh akses terhadap input penting pertanian, apakah berupa  teknologi, sarana produksi maupun sumber daya finansial. Keberdayaan petani ini pada akhirnya akan bisa membawa petani untuk masuk dalam dunia persaiangan (kompetisi), terutama peningkatan daya saing produk. Peran regulasi sangat penting dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi munculnya  persaingan sehat dalam perdagangan komoditas pertanian. Oleh karena itu pemerintah dituntut bisa menciptakan aturan-aturan yang tidak distortif.  Namun yang tidak kalah penting adalah bahwa revitalisasi pertanian harus merupakan kebijakan yang berpihak pada pembangunan pertanian yang berkelanjutan, dimana  aspek kelestarian menjadi pertimbangan-pertimbangan strategisnya.

PENUTUP
Dari berbagai uraian diatas, maka dapat diambil  simpulan bahwa Indonesia sebagai negara agraris pada dasarnya merupakan pemilik sumber daya pertanian yang amat melimpah. Namun demikian dalam perkembangannya Indonesia dihadapkan pada sebuah permasalahan yang cukup berat berupa krisis ketahanan pangan. Krisis katahanan pangan tersebut berakar dari kebijakan pembangunan pertanian yang mengedepankan pada aspek swasembada beras/pangan sebagi prioritas, dimana upaya untuk pemenuhan swasembada tersebut diidentikan dengan upaya modernisasi pertanian.
Revolusi hijau adalah salah satu bentuk program modernisasi pertanian, yang meskipun secara makro telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, akan tetapi secara mirko justru menghasilkan dampak negatif berupa menurunya pendapatan petani. Menurunnya pendapatan petani secara jangka panjang telah menyebabkan peningkatan jumlah kemiskinan di pedesaan yang ternyata menjadi rawan dalam hal ketahanan pangan.  Kondisi inilah yang menjadi alasan untuk melakukan pendefinisian kembali pembangunan pertanian melalui kebijakan revitalisasi pertanian.  Revitalisasi pertanian ini tidak lagi semata-mata berorientasi pada terpenuhinya ketersediaan pangan, akan tetapi lebih substansial pada makin terbukannya akses masyarakat terhadap pangan. Dengan kemampuan akses pangan inilah masyarakat khususnya petani akan dapat memiliki keberdayaan secara komprehensif terhadap produksi, distribusi dan konsumsi hasil pertanian.

Daftar Pustaka

Husein. Ali Sofyan, 1995,  Ekonomi Politik Penguasaan Tanah, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan

Suryana, Achmad, 2003, Kapita Selekta Evaluasi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan, Yogyakarta, BPFE

Sutanto, Yusuf (editor), 2006, Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban,Jakarta, Penerbit Buku Kompas

Widodo, Sri dan Suyitno, 1999, Pemberdayaan Pertanian Menuju Pemulihan Ekonomi Indonesia, Yogyakarta, Aditya Media

Jurnal Analisis Sosial, Vol.9 No 1 April 2004, Pembaruan Agraria :Antara Negara dan Pasar

Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA, In Memoriam Ace Partadireja: Pengembangan Kearah  Pemikiran Ekonomi Kelembagaan, No. 54/XXVII/IV/2004

Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria, Sengketa Sumber Daya Alam, Volume III/Tahun III/2006

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan

The Indonesian Institute, INDONESIA 2005

http://www.ki.or.id, Andi Irawan, Ketahanan Pangan Yang Berpihak Pada Petani(diakses tanggal 15 september 2008)

http://www.bappeda.jabar.go.id, Ketahanan Pangan (diakses tanggal 15 September 2008)

http://www.zef.dc, Jonatan Lassa,  Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005, diakses 27 Agustus 2008

Kompas, 5 Februari 2005, RPJM dan Upaya Memutus Lingkaran Setan

Republika, 06 Mei 2008, Gutomo Bayu Aji, Mencermati Kebijakan Ketahanan Pangan






  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

LUMBUNG DESA: KEARIFAN LOKAL DALAM MEWUJUDKAN KEAMANAN PANGAN

PENDAHULUAN
Tujuan pembangunan yang kita laksanakan adalah untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang, dengan menekankan pada ketesediaan lapangan pekerjaan, keberpihakan pada masyarakat miskin (pro-poor), pembangunan yang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan (eco-friendly), yang kesemuanya diharapkan dapat lebih menjamin keamanan pangan, peningkatan pendapatan dan juga peningkatan kompetitif bangsa dalam percaturan global. Pertanian Indonesia juga diharapkan semakin berperan dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan dan juga dalam menjamin keamanan pangan bagi penduduk. Memang harus kita akui bahwa pertumbuhan sektor pertanian kita sejak tahun 90 an menunjukan kondisi yang terus menurun sehingga capaian target keswasembadaan pangan belum mampu terealisasikan. Karena itu rasanya menjadi sangat penting untuk mulai menata dan mengembangkan  mata rantai manajemen penyediaan pangan untuk menghadapi sejumlah tantangan dalam mencapai terwujudnya keamanan pangan nasional.
 Kita menyadari sepenuhnya bahwa sampai saat ini kita masih memiliki ketergantungan bahan makanan pada dunia luar cukup besar, sementara jaminan ketersediaan pangan dalam negeri sendiri masih  menghadapi banyak kendala, bukan hanya karena faktor alam, akan tetapi masih lemahnya kemampuan untuk mengembangkan inovasi dalam pola pertanian dan juga manajemen pengelolaan pangan paska panen yang masih lemah. Fakta ini yang menyebabkan pertanian kita belum memiliki tingkat kompetisi dengan produk pangan luar yang sekarang banyak membanjiri pasar lokal, termasuk produk pertanian sawah yaitu beras. Akibatnya pertanian, khususnya pertanian sawah menjadi sektor yang kurang menarik untuk digeluti karena penjadi petani sawah identik dengan kemiskinan. Jika stigma ini terus berkembang maka keamanan pangan menjadi sebuah ancaman, terlebih masyarakat Indonesia memang 90 % tergantung pada beras sebagai makanan utama. Untuk itulah semua pihak terutama pemerintah perlu kembali membangun citra positif terhadap sektor pertanian, dimana pertanian khususnya pertanian sawah juga bisa menjadi penopang keamanan pangan nasional. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan kearifan-kearifan lokal, termasuk menghidupkan kembali lumbung desa yang dalam sejarah kehidupan masyarakat desa telah membuktikan sebagai alat dalam menciptakan kesejahteraan bersama dan menjamin keamanan pangan dalam kondisi paceklik (gagal panen karena faktor alam).
MASALAH KEAMANAN PANGAN
 Isu keamanan pangan bukan hanya persoalan Indonesia, akan tetapi telah menjadi isu global. Kekurangan pangan yang dialami oleh sebagian besar negara-negara berkembang telah menarik perhatian PBB untuk melakukan konferensi internasional dalam rangka menemukan jalan keluar bagaimana mewujudkan keamanan pangan dunia. Badan PPB yang menangani pasalah pangan dan pertanian yaitu FAO memaknai Keamanan pangan sebagai” the physical and economic access, for all people at all times, to enough food for an active and healthy life”. Dalam perspektif global  kebutuhan pangan adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia untuk mempertahankan hidupnya, sehingga pangan juga dilihat sebagai bagian dari pemenuhan  HAM atau human right. Namun  di sisi lain dalam  konteks global pula, menunjukan adanya kecenderungan terjadinya krisis pangan (food crisis) dunia. Dalam laporan PBB dinyatakan bahwa hampir satu milyar penduduk dunia mengalami kekurangan pangan dan banyak anak-anak harus meregang nyawa karena gizi buruk. Kekurangan pangan ini disebabkan oleh berbagai faktor ketidakpastian seperti cuaca, kegagalan pasar, kegagalan panen dan ketiadaan  sistem produksi yang efektif yang membantu proses pertanian. Dalam kenyataannya juga begitu banyak manusia yang tidak memiliki akses terhadap pangan yang membutuhkan bantuan lembaga pangan dunia (FAO,2008). Banyak Negara-negara berkembang termasuk Indonesia juga berhadapan dengan persoalan ini. Meskipun Indonesia telah melaksanakan revolusi hijau untuk memperbaiki sistem pertanian pangan, akan tetapi keamanan pangan masih menjadi ancaman tersendiri. Persoalan tersebut antara lain :
1)      Berkurangnya lahan pertanian sawah akibat konversi lahan
2)      Manajemen pasca panen yang belum efektif (mekanisme harga yang diserahkan pasar; kualitas sistem penyimpanan)
3)      Akses perbankan bagi petani yang masih rendah
Konsep kemanan pangan sendiri pertama kali digunakan pada awal 90 an untuk menggambarkan, mengkaji dan merumuskan kebijakan kebijakan yang ditujukan bagi kelompok miskin terkait dengan persoalan akses terhadap pangan dalam rumah tangga di Amerika Serikat (Hamilton,1997). Ketercukupan pangan bagi rumah tangga memang menjadi isu sentral di seluruh dunia. Namun saat ini persoalan keamanan pangan bukan lagi persoalan individu petani, tapi sudah menjadi persoalan komunitas. Ketercukupan  pangan menjadi isu global, isu yang mendunia, terutama karena banyaknya manusia yang tidak memiliki akses terhadap pangan yang dibutuhkan. Konsep keamanan pangan sebenarnya ditujukan pada mereka yang memiliki resiko ketidakmampuan akses terhadap pangan yang dibutuhkan, terutama mereka yang berpendapatan rendah dan hidup dalam kemiskinan.Oleh karenanya begitu banyak konsep keamanan pangan yang dikemukakan oleh para ahli dengan berbagai perspektif sendiri yang berbeda-beda. Meskipun banyak konsep, akan tetapi ada tiga hal yang selalu disepakati oleh para ahli bahwa ada tiga elemen penting dalam persoalan keamanan pangan (Awashi, 2010) yaitu :
1)      Kapasistas produksi pertanian yang sempurna, yang mampu menghasilkan jumlah pangan yang memadai yang dibutuhkan oleh penduduk,  sehingga mampu mempertahankan  kestabilan pangan dimana kapanpun dibutuhkan pangan telah tersedia.
2)      Mempertahankan kemampuan akses fisik, sosial dan ekonomi terhadap pangan
3)      Manfaat pangan dimana pangan seharusnya memberi manfaat dengan nutrisi yang dibutuhkan dan juga aman untuk dikonsumsi
Memandang persoalan keamanan pangan sebagai persoalan yang tidak berdiri sendiri sangatlah penting. Menurut Kantor ( 2001) melihat persoalan keamanan pangan harus dilihat sebagai sebuah sistem yang terintegrasi dengan sistem kesejahteraan sosial (social welfare) dan juga keamanan lingkungan  atau sumberdaya alam (natural capital). Pendekatan sistem ini  memberikan perhatian utama dengan menekankan pada faktor sosial, ekonomi dan kelembagaan dalam masyarakat yang akan mempengaruhi kuantitas, kualitas dan afordabilitas terhadap pangan. Pendekatan sistem yang digambarkan oleh Kantor dapat dilihat dalam skema dibawah ini :


Kegiatan Sistem Pangan dan Dampaknya Terhadap Kemanan Pangan 


Sumber : FAO,PBB, 2008


Pendekatan sistem memandang bahwa kemananan pangan selalu melibatkan tiga elemen secara terintegrasi yaitu manfaat pangan (food utilization); akses pangan (food access) dan ketersediaan/ketercukupan pangan (food availabiliaty). Ketersediaan pangan selalu terkait dengan sistem produksi, distribusi dan nilai tukar. Sementara akses pangan terkait dengan kemampuan untuk memperoleh dan pembagian atas pangan.  Sedangkan kemanfaatan pangan akan selalu dikaitkan dengan nilai nutrisi pangan dan kemanan pangan. Dari tiga elemen persoalamn kemanan pangan tersebut,  aspek ketersediaan menjadi faktor yang sangat krusial bagi kita. Fakta menunjukan bahwa hasil produksi pangan khususnya beras memang terus menurun sehingga sebagai Negara pertanian pada akhirnya kita pun mau tidak mau harus menjadi importer bahan pangan, termasuk  beras. Kenyataan ini menjadi sebuah ironi tersendiri bagi Indonesia yang dikenal sebagai Negara agraris.  Pemerintah SBY meskipun telah mencanangkan revitalisasi pertanian, termasuk mengusahakan adanya persawahan baru, akan tetapi di sisi yang lain tidak bisa mengendalikan laju konversi lahan yang begitu cepat. Kondisi ini diperparah oleh adanya perubahan iklim yang tidak lagi bisa dikendalikan oleh petani dengan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses produksi. Seringkali ketidakpastian musim menyebabkan petani harus mengalami kerugian karena cuaca yang tidak sesuai dengan perkiraan. Kenyataan ini mau tidak mau seharusnya  menyadarkan  pemerintah pentingnya untuk campur tangan dalam  mensosialisasikan hasil kajian cuaca secara keilmuan kepada para petani,  sehingga dapat membantu petani dalam menekan kerugian. Hal yang tidak kalah penting adalah membantu petani  agar mampu membangun sistem penyimpanan hasil panen yang mampu mengantisipasi kebutuhan pangan disaat terjadinya kegagalan panen. Puso dan kegagalan panen adalah kondisi yang tidak menguntungkan bagi para petani khusunya, dan masyarakat umunya karena dapat  berujung pada krisis pangan. Lumbung desa adalah salah satu contoh dari nilai-nilai kearifan lokal yang mampu menjadi solusi bagi petani dalam mengatasi krisis pangan akibat kegagalan panen.
MEMPERTAHANKAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL
Sampai saat ini Indonesia masih menjadi Negara yang menopang pertumbuhan ekonominya dari sektor pertanian dan belum pada sektor industri manufaktur. Sektor pertanian juga menyerap tenaga kerja terbanyak. Namun sektor pertanian menghadapi dua kondisi yang berpotensi resiko yaitu resiko produktivitas dan resiko pasar. Resiko  produktivitas tanam disebabkan  oleh karena fluktuasi cuaca, hama, teknologi dan sebagainya. Sementara resiko harga dipengaruhi oleh faktor persediaan dan permintaan baik dalam konteks pasar domestik maupun internasional. Nampaknya tidak bisa dipungkiri bahwa pasar pangan internasional juga berperan penting dalam menempatkan posisi Indonesia sebagai importer pangan,  karena tidak ada pilihan lain. Kebutuhan pangan sebagai kebutuhan utama setiap manusia memaksa Negara untuk melakukan impor pangan karena kalau tidak akan terjadi kelaparan masif yang mengancam nyawa manusia. Fakta inilah yang seharusnya mendorong pengambil kebijakan untuk memformulasikan kebijakan pertanian yang tepat.  Posisi sebagai importer pangan sungguh tidak elok bagi Negara yang sepanjang sejarah begitu menarik minat bangsa lain untuk datang sebagai penjajah karena kesuburan tanahnya. Oleh karenanya kalaupun kita menjadi importer pangan, semestinya sifatnya temporal, bukan menjadi sebuah kelanggengan. Oleh karenanya kita harus mulai sungguh-sungguh menata kekuatan ekonomi lokal di tengah percaturan ekonomi global.
Jargon “think globally, act locally” nampaknya tidak boleh hanya menjadi  jargon yang dipahami tanpa dimaknai. Hampir semua orang ketika berbincang mengenai kompetisi global di berbagai bidang, termasuk di bidang pertanian selalu mengeluarkan jurus ini. Tujuannya adalah membangun kesadaran bahwa dinamika global akan selalu mempengaruhi kehidupan manusia di belahan manapun, tetapi dengan memegang teguh kearifan lokal sebagai  modal sosial, maka selalu ada peluang  untuk menjadi pemenang dalam persaingan. Semua orang harus menyadari bahwa dunia yang tak berbatas (borderless world) hanya dapat dimaknai dalam konteks komunikasi dan informasi, tetapi dalam konteks ekonomi, semua akan memegang pada kepentingan dan kedaualatannya sendiri. Tidak pernah ada globalisasi ekonomi, karena itu hanya omong kosong, maka kita juga harus meyakini atas kekuatan lokal dalam membangun sistem pertanian kita. Kita tidak dapat memungkiri bahwa keterpurukan pertanian Indonesia salah satunya juga karena permainan kapitalisme global. Pada tingkat makro Mekanisme pasar global telah memainkan harga pangan yang membuat ekonomi kita tidak stabil dikarenakan ketergantungan kita kepada pangan dunia. Akibatnya kita masuk menjadi salah satu Negara yang memiliki ketidakamanan pangan cukup tinggi. Joachim Von Braun dan kawan-kawan mencatat bahwa  pada tahun 1996 ada 800 juta penduduk yang mengalami kekurangan pangan dan kelaparan, maka saat ini sudah lebih dari 1 milyar penduduk dunia mengalami kelaparan dan ketidakamanan pangan. Mereka berada di beberapa Negara Asia,  Afrika dan Amerika Latin. Indonesia masuk dalam kategori Large Fluctuations and Low Level of Food Consumtion, artinya kita belum masuk pada kategori ketidakamanan yang kronis di bidang pangan, akan tetapi masuk dalam kategori ketidakamanan yang tinggi di bidang pangan. Dalam kondisi ini maka ancaman kelaparan cukup tinggi di Indonesia, yang dibuktikan dengan adanya malnutrisi atau gizi buruk di berbagai daerah di Indonesia. Kenyataan ini lambat laun tentunya akan merapuhkan ketahanan pangan kita.
Globalisasi pangan dalam level makro memang dianggap sebagai salah satu faktor rapuhnya ketahanan pangan kita. Sementara dalam tingkat mikro  semakin memperburuk  kehidupan petani kita. Terlebih kondisi ini juga dipertajam  oleh  lemahnya  akses perbankan untuk mendapatkan kredit bagi petani  dalam memenuhi kebutuhan  biaya produksi, terutama pada saat  panen gagal. Kondisi inilah yang sering menyebabkan petani harus terjerat pada sistem ijon atau pada lintah darat. Maka perangkap kemiskinan menjadi begitu terbuka menjerat para petani. Sementara pada saat panen raya petani dikejar untuk segera menjual hasil panen karena harus membayar berbagai hutang. Disamping itu belum adanya sistem penyimpana hasil panen dengan cara yang lebih baik menyebabkan petani tidak mau ambil resiko atas kerusakan hasil panen yang dapat memicu penurunan harga.
Sistem pengelolaan hasil panen, terutama sistem penyimpanan,  memiliki arti yang sangat strategis bagi petani, yang akan berdampak pada ketahanan pangan nasional. Sistem penyimpanan yang baik akan menyebabkan petani bisa mempertahankan harga dan tidak dimainkan oleh tengkulak. Tapi ini tidaklah mudah karena mayoritas petani kita adalah petani kecil, yang membutuhkan uang tunai  segera setelah panen tiba. Oleh karenanya mereka terbiasa untuk secepatnya menjual hasil panen untuk membayar hutang-hutang selama proses produksi. Meskipun petani kecil memberikan sumbangan surplus pasar rata-rata 54 % pada musim panen, tapi mereka tidak bisa memanfaatkan surplus tersebut untuk memetik keuntungan. Sementara begitu musim panen lewat dan harga mulai naik, petani tidak mendapatkan apa-apa karena nilai keuntungan harga ada pada pedagang atau tengkulak.
Untuk memberikan nilai keuangan yang menguntungkan bagi petani, maka intervensi pemerintah dalam mengembangkan sistem penyimpanan sangat penting dan menjadi kebutuhan mutlak.  Kalau pada masa lalu ada lumbung desa, dengan mekanisme kerjanya sebagai berikut :
·         Pada setiap musim panen lumbung desa memfasilitasi petani untuk menyimpan padi
·         Pada musim paceklik bisa diambil oleh pemiliknya untuk memenuhi kebutuhan atau bisa juga menjadi pinjaman bagi mereka yang tidak memiliki simpanan padi, terutama mereka yang memiliki lahan sangat terbatas atau para buruh tani. Lunbung desa ini sekaligus merupakan sebuah nilai kearifan untuk menguatkan “Social Capital” masyarakat desa.
Dengan sedikit sentuhan teknologi Lumbung desa sebagai sistem penyimpanan hasil panen bisa menjadi solusi bagi petani untuk memperoleh keuntungan keuangan yang memadai dari hasil panennya. Misalnya dengan teknologi sederhana petani bisa melakukan pengeringan padi yang benar-benar menjamin kualitas selama penyimpanan. Dengan sistem penyimpanan yang baik, melalui Lumbung Desa Plus, petani tidak didesak untuk menjual hasil panen secepat mungkin setelah panen tiba kepada para tengkulak yang memang selama ini menjadi hantu. Kondisi ini menghindari petani untuk menjual hasil panen dengan harga yang murah. Disamping itu juga perlu diperkuat dengan akses yang aman untuk memperoleh pinjaman perbankan, karena kebiasaan petani menjual hasil panen secepatnya disebabkan  mereka terperangkap pada sistem ijon (menjual kepada tengkulak sebelum dipanen, sehingga harga dimainkan oleh tengkulak). Barangkali ke depan pemerintah perlu memberdayakan pemerintah desa untuk berperan penting dalam mengelola sistem penyimpanan hasil panen. Sejalan dengan rencana pemerintah untuk memperkuat desa dengan alokasi anggaran masing-masing desa 1 milyar/tahun, maka terbuka peluang setiap desa untuk mengembangkan Lumbung Desa Plus. Desa harus bisa membeli surplus padi saat panen dengan  harga kewajaran dan disimpan di lumbung desa. Pada saat musim panen lewat, petani dan masyarakat desa bisa memenuhi kebutuhan pangan dari lumbung desa. Jika ini bisa direalisasikan, maka jaminan keamanan pangan bukan hanya dirasakan oleh petani sendiri, tapi juga oleh bangsa ini secara keseluruhan. Ujungnya kita menjadi bangsa yang tidak rapuh karena tidak mudah dimainkan oleh pangan internasional.
PENUTUP
Pangan adalah kebutuhan setiap manusia. Bagi Indonesia beras adalah komoditas pangan yang sangat penting karena 90 % lebih penduduk Indonesia mengkonsumsi beras. Akan tetapi persoalan muncul ketika lahan pertanian sawah  terus menurun akibat konversi lahan sehingga menganggu persediaan. Akibatnya dalam level makro kita tidak punya pilihan untuk menjadi importer beras. Dalam level mikro,  pertanian menjadi sektor yang kurang menarik dan kurang menguntungkan karena muncul stigma bahwa menjadi petani sulit hidup sejahtera. Pada saat panen  surplus padi tidak membuat petani menikmati karena  harga padi turun. Petani tidak bisa menahan hasil panen dan harus segera menjual karena  terjerat hutang ataupun juga  belum tersedianya  fasilitas penyimpanan yang memadai. Oleh karena itu untuk menaikan taraf hidup petani agar mampu meraih keuntungan dari surplus panen,  pemerintah perlu mengembangkan sistem penyimpanan melalui Lumbung Desa Plus.  Mekanisme kerjanya  tidak jauh beda dengan Lumbung Desa yang ada selama ini, hanya ada sentuhan teknologi dalam pengeringan sebelum padi disimpan sebagai sebuah inovasi.

Daftar Pustaka
Awasthi,et al, System Analysis of Food Security Situation in India, in Journal of Food Security, Volume 1 Number 1, 2010, Institute of Food Security Food Cosporation of India
Braun, Joachim Von, 1992, Improving Food Security of The Poor: Concept, Policy, and Programs, International Food Policy Research Institute, Washington DC
Hamilton WL,et al,1995, Household Security in the United States in 1995: Technical Report of the Food Security Measurement Project, US Department of Agriculture,Food and Consumer Service
Kantor, LS, 2001, Community Food Security Program Improve Food Access, Food Review, 2001; 24 (1): 20-26

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS