PENDAHULUAN
Tujuan
pembangunan yang kita laksanakan adalah untuk menciptakan keadilan dan
kesejahteraan bagi semua orang, dengan menekankan pada ketesediaan lapangan
pekerjaan, keberpihakan pada masyarakat miskin (pro-poor), pembangunan yang
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan (eco-friendly), yang kesemuanya
diharapkan dapat lebih menjamin keamanan pangan, peningkatan pendapatan dan
juga peningkatan kompetitif bangsa dalam percaturan global. Pertanian Indonesia
juga diharapkan semakin berperan dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan
dan juga dalam menjamin keamanan pangan bagi penduduk. Memang harus kita akui
bahwa pertumbuhan sektor pertanian kita sejak tahun 90 an menunjukan kondisi
yang terus menurun sehingga capaian target keswasembadaan pangan belum mampu
terealisasikan. Karena itu rasanya menjadi sangat penting untuk mulai menata
dan mengembangkan mata rantai manajemen
penyediaan pangan untuk menghadapi sejumlah tantangan dalam mencapai
terwujudnya keamanan pangan nasional.
Kita menyadari sepenuhnya bahwa sampai saat
ini kita masih memiliki ketergantungan bahan makanan pada dunia luar cukup
besar, sementara jaminan ketersediaan pangan dalam negeri sendiri masih menghadapi banyak kendala, bukan hanya karena
faktor alam, akan tetapi masih lemahnya kemampuan untuk mengembangkan inovasi
dalam pola pertanian dan juga manajemen pengelolaan pangan paska panen yang
masih lemah. Fakta ini yang menyebabkan pertanian kita belum memiliki tingkat
kompetisi dengan produk pangan luar yang sekarang banyak membanjiri pasar lokal,
termasuk produk pertanian sawah yaitu beras. Akibatnya pertanian, khususnya
pertanian sawah menjadi sektor yang kurang menarik untuk digeluti karena
penjadi petani sawah identik dengan kemiskinan. Jika stigma ini terus
berkembang maka keamanan pangan menjadi sebuah ancaman, terlebih masyarakat
Indonesia memang 90 % tergantung pada beras sebagai makanan utama. Untuk itulah
semua pihak terutama pemerintah perlu kembali membangun citra positif terhadap
sektor pertanian, dimana pertanian khususnya pertanian sawah juga bisa menjadi
penopang keamanan pangan nasional. Salah satu caranya adalah dengan
mengembangkan kearifan-kearifan lokal, termasuk menghidupkan kembali lumbung
desa yang dalam sejarah kehidupan masyarakat desa telah membuktikan sebagai
alat dalam menciptakan kesejahteraan bersama dan menjamin keamanan pangan dalam
kondisi paceklik (gagal panen karena faktor alam).
MASALAH
KEAMANAN PANGAN
Isu keamanan pangan bukan hanya persoalan
Indonesia, akan tetapi telah menjadi isu global. Kekurangan pangan yang dialami
oleh sebagian besar negara-negara berkembang telah menarik perhatian PBB untuk
melakukan konferensi internasional dalam rangka menemukan jalan keluar
bagaimana mewujudkan keamanan pangan dunia. Badan PPB yang menangani pasalah
pangan dan pertanian yaitu FAO memaknai Keamanan pangan sebagai” the physical and economic access, for all
people at all times, to enough food for an active and healthy life”. Dalam
perspektif global kebutuhan pangan adalah
kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia untuk mempertahankan hidupnya,
sehingga pangan juga dilihat sebagai bagian dari pemenuhan HAM atau human
right. Namun di sisi lain dalam konteks global pula, menunjukan adanya
kecenderungan terjadinya krisis pangan (food
crisis) dunia. Dalam laporan PBB dinyatakan bahwa hampir satu milyar
penduduk dunia mengalami kekurangan pangan dan banyak anak-anak harus meregang nyawa
karena gizi buruk. Kekurangan pangan ini disebabkan oleh berbagai faktor
ketidakpastian seperti cuaca, kegagalan pasar, kegagalan panen dan ketiadaan sistem produksi yang efektif yang membantu
proses pertanian. Dalam kenyataannya juga begitu banyak manusia yang tidak
memiliki akses terhadap pangan yang membutuhkan bantuan lembaga pangan dunia
(FAO,2008). Banyak Negara-negara berkembang termasuk Indonesia juga berhadapan
dengan persoalan ini. Meskipun Indonesia telah melaksanakan revolusi hijau untuk
memperbaiki sistem pertanian pangan, akan tetapi keamanan pangan masih menjadi
ancaman tersendiri. Persoalan tersebut antara lain :
1) Berkurangnya
lahan pertanian sawah akibat konversi lahan
2) Manajemen
pasca panen yang belum efektif (mekanisme harga yang diserahkan pasar; kualitas
sistem penyimpanan)
3) Akses
perbankan bagi petani yang masih rendah
Konsep kemanan pangan
sendiri pertama kali digunakan pada awal 90 an untuk menggambarkan, mengkaji
dan merumuskan kebijakan kebijakan yang ditujukan bagi kelompok miskin terkait
dengan persoalan akses terhadap pangan dalam rumah tangga di Amerika Serikat
(Hamilton,1997). Ketercukupan pangan bagi rumah tangga memang menjadi isu
sentral di seluruh dunia. Namun saat ini persoalan keamanan pangan bukan lagi
persoalan individu petani, tapi sudah menjadi persoalan komunitas. Ketercukupan pangan menjadi isu global, isu yang mendunia,
terutama karena banyaknya manusia yang tidak memiliki akses terhadap pangan
yang dibutuhkan. Konsep keamanan pangan sebenarnya ditujukan pada mereka yang
memiliki resiko ketidakmampuan akses terhadap pangan yang dibutuhkan, terutama
mereka yang berpendapatan rendah dan hidup dalam kemiskinan.Oleh karenanya
begitu banyak konsep keamanan pangan yang dikemukakan oleh para ahli dengan
berbagai perspektif sendiri yang berbeda-beda. Meskipun banyak konsep, akan
tetapi ada tiga hal yang selalu disepakati oleh para ahli bahwa ada tiga elemen
penting dalam persoalan keamanan pangan (Awashi, 2010) yaitu :
1) Kapasistas
produksi pertanian yang sempurna, yang mampu menghasilkan jumlah pangan yang
memadai yang dibutuhkan oleh penduduk,
sehingga mampu mempertahankan
kestabilan pangan dimana kapanpun dibutuhkan pangan telah tersedia.
2) Mempertahankan
kemampuan akses fisik, sosial dan ekonomi terhadap pangan
3) Manfaat
pangan dimana pangan seharusnya memberi manfaat dengan nutrisi yang dibutuhkan
dan juga aman untuk dikonsumsi
Memandang persoalan
keamanan pangan sebagai persoalan yang tidak berdiri sendiri sangatlah penting.
Menurut Kantor ( 2001) melihat persoalan keamanan pangan harus dilihat sebagai
sebuah sistem yang terintegrasi dengan sistem kesejahteraan sosial (social welfare) dan juga keamanan
lingkungan atau sumberdaya alam (natural capital). Pendekatan sistem
ini memberikan perhatian utama dengan
menekankan pada faktor sosial, ekonomi dan kelembagaan dalam masyarakat yang
akan mempengaruhi kuantitas, kualitas dan afordabilitas terhadap pangan.
Pendekatan sistem yang digambarkan oleh Kantor dapat dilihat dalam skema
dibawah ini :
Kegiatan
Sistem Pangan dan Dampaknya Terhadap Kemanan Pangan
Sumber : FAO,PBB, 2008
Pendekatan sistem
memandang bahwa kemananan pangan selalu melibatkan tiga elemen secara
terintegrasi yaitu manfaat pangan (food
utilization); akses pangan (food
access) dan ketersediaan/ketercukupan pangan (food availabiliaty). Ketersediaan pangan selalu terkait dengan
sistem produksi, distribusi dan nilai tukar. Sementara akses pangan terkait
dengan kemampuan untuk memperoleh dan pembagian atas pangan. Sedangkan kemanfaatan pangan akan selalu
dikaitkan dengan nilai nutrisi pangan dan kemanan pangan. Dari tiga elemen
persoalamn kemanan pangan tersebut,
aspek ketersediaan menjadi faktor yang sangat krusial bagi kita. Fakta
menunjukan bahwa hasil produksi pangan khususnya beras memang terus menurun
sehingga sebagai Negara pertanian pada akhirnya kita pun mau tidak mau harus
menjadi importer bahan pangan, termasuk beras. Kenyataan ini menjadi sebuah ironi
tersendiri bagi Indonesia yang dikenal sebagai Negara agraris. Pemerintah SBY meskipun telah mencanangkan
revitalisasi pertanian, termasuk mengusahakan adanya persawahan baru, akan
tetapi di sisi yang lain tidak bisa mengendalikan laju konversi lahan yang
begitu cepat. Kondisi ini diperparah oleh adanya perubahan iklim yang tidak
lagi bisa dikendalikan oleh petani dengan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses
produksi. Seringkali ketidakpastian musim menyebabkan petani harus mengalami
kerugian karena cuaca yang tidak sesuai dengan perkiraan. Kenyataan ini mau
tidak mau seharusnya menyadarkan pemerintah pentingnya untuk campur tangan dalam
mensosialisasikan hasil kajian cuaca secara
keilmuan kepada para petani, sehingga
dapat membantu petani dalam menekan kerugian. Hal yang tidak kalah penting
adalah membantu petani agar mampu
membangun sistem penyimpanan hasil panen yang mampu mengantisipasi kebutuhan
pangan disaat terjadinya kegagalan panen. Puso dan kegagalan panen adalah
kondisi yang tidak menguntungkan bagi para petani khusunya, dan masyarakat
umunya karena dapat berujung pada krisis
pangan. Lumbung desa adalah salah satu contoh dari nilai-nilai kearifan lokal
yang mampu menjadi solusi bagi petani dalam mengatasi krisis pangan akibat
kegagalan panen.
MEMPERTAHANKAN
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL
Sampai
saat ini Indonesia masih menjadi Negara yang menopang pertumbuhan ekonominya
dari sektor pertanian dan belum pada sektor industri manufaktur. Sektor
pertanian juga menyerap tenaga kerja terbanyak. Namun sektor pertanian
menghadapi dua kondisi yang berpotensi resiko yaitu resiko produktivitas dan
resiko pasar. Resiko produktivitas tanam
disebabkan oleh karena fluktuasi cuaca,
hama, teknologi dan sebagainya. Sementara resiko harga dipengaruhi oleh faktor
persediaan dan permintaan baik dalam konteks pasar domestik maupun
internasional. Nampaknya tidak bisa dipungkiri bahwa pasar pangan internasional
juga berperan penting dalam menempatkan posisi Indonesia sebagai importer
pangan, karena tidak ada pilihan lain.
Kebutuhan pangan sebagai kebutuhan utama setiap manusia memaksa Negara untuk
melakukan impor pangan karena kalau tidak akan terjadi kelaparan masif yang
mengancam nyawa manusia. Fakta inilah yang seharusnya mendorong pengambil
kebijakan untuk memformulasikan kebijakan pertanian yang tepat. Posisi sebagai importer pangan sungguh tidak
elok bagi Negara yang sepanjang sejarah begitu menarik minat bangsa lain untuk
datang sebagai penjajah karena kesuburan tanahnya. Oleh karenanya kalaupun kita
menjadi importer pangan, semestinya sifatnya temporal, bukan menjadi sebuah
kelanggengan. Oleh karenanya kita harus mulai sungguh-sungguh menata kekuatan
ekonomi lokal di tengah percaturan ekonomi global.
Jargon
“think globally, act locally”
nampaknya tidak boleh hanya menjadi
jargon yang dipahami tanpa dimaknai. Hampir semua orang ketika
berbincang mengenai kompetisi global di berbagai bidang, termasuk di bidang
pertanian selalu mengeluarkan jurus ini. Tujuannya adalah membangun kesadaran
bahwa dinamika global akan selalu mempengaruhi kehidupan manusia di belahan
manapun, tetapi dengan memegang teguh kearifan lokal sebagai modal sosial, maka selalu ada peluang untuk menjadi pemenang dalam persaingan. Semua
orang harus menyadari bahwa dunia yang tak berbatas (borderless world) hanya dapat dimaknai dalam konteks komunikasi dan
informasi, tetapi dalam konteks ekonomi, semua akan memegang pada kepentingan
dan kedaualatannya sendiri. Tidak pernah ada globalisasi ekonomi, karena itu
hanya omong kosong, maka kita juga harus meyakini atas kekuatan lokal dalam
membangun sistem pertanian kita. Kita tidak dapat memungkiri bahwa keterpurukan
pertanian Indonesia salah satunya juga karena permainan kapitalisme global.
Pada tingkat makro Mekanisme pasar global telah memainkan harga pangan yang
membuat ekonomi kita tidak stabil dikarenakan ketergantungan kita kepada pangan
dunia. Akibatnya kita masuk menjadi salah satu Negara yang memiliki
ketidakamanan pangan cukup tinggi. Joachim Von Braun dan kawan-kawan mencatat
bahwa pada tahun 1996 ada 800 juta
penduduk yang mengalami kekurangan pangan dan kelaparan, maka saat ini sudah
lebih dari 1 milyar penduduk dunia mengalami kelaparan dan ketidakamanan pangan.
Mereka berada di beberapa Negara Asia,
Afrika dan Amerika Latin. Indonesia masuk dalam kategori Large
Fluctuations and Low Level of Food Consumtion, artinya kita belum masuk pada
kategori ketidakamanan yang kronis di bidang pangan, akan tetapi masuk dalam
kategori ketidakamanan yang tinggi di bidang pangan. Dalam kondisi ini maka
ancaman kelaparan cukup tinggi di Indonesia, yang dibuktikan dengan adanya
malnutrisi atau gizi buruk di berbagai daerah di Indonesia. Kenyataan ini
lambat laun tentunya akan merapuhkan ketahanan pangan kita.
Globalisasi
pangan dalam level makro memang dianggap sebagai salah satu faktor rapuhnya
ketahanan pangan kita. Sementara dalam tingkat mikro semakin memperburuk kehidupan petani kita. Terlebih kondisi ini
juga dipertajam oleh lemahnya
akses perbankan untuk mendapatkan kredit bagi petani dalam memenuhi kebutuhan biaya produksi, terutama pada saat panen gagal. Kondisi inilah yang sering
menyebabkan petani harus terjerat pada sistem ijon atau pada lintah darat. Maka
perangkap kemiskinan menjadi begitu terbuka menjerat para petani. Sementara
pada saat panen raya petani dikejar untuk segera menjual hasil panen karena
harus membayar berbagai hutang. Disamping itu belum adanya sistem penyimpana
hasil panen dengan cara yang lebih baik menyebabkan petani tidak mau ambil
resiko atas kerusakan hasil panen yang dapat memicu penurunan harga.
Sistem
pengelolaan hasil panen, terutama sistem penyimpanan, memiliki arti yang sangat strategis bagi
petani, yang akan berdampak pada ketahanan pangan nasional. Sistem penyimpanan
yang baik akan menyebabkan petani bisa mempertahankan harga dan tidak dimainkan
oleh tengkulak. Tapi ini tidaklah mudah karena mayoritas petani kita adalah
petani kecil, yang membutuhkan uang tunai
segera setelah panen tiba. Oleh karenanya mereka terbiasa untuk
secepatnya menjual hasil panen untuk membayar hutang-hutang selama proses
produksi. Meskipun petani kecil memberikan sumbangan surplus pasar rata-rata 54
% pada musim panen, tapi mereka tidak bisa memanfaatkan surplus tersebut untuk
memetik keuntungan. Sementara begitu musim panen lewat dan harga mulai naik,
petani tidak mendapatkan apa-apa karena nilai keuntungan harga ada pada
pedagang atau tengkulak.
Untuk
memberikan nilai keuangan yang menguntungkan bagi petani, maka intervensi
pemerintah dalam mengembangkan sistem penyimpanan sangat penting dan menjadi
kebutuhan mutlak. Kalau pada masa lalu
ada lumbung desa, dengan mekanisme kerjanya sebagai berikut :
·
Pada setiap musim panen lumbung desa
memfasilitasi petani untuk menyimpan padi
·
Pada musim paceklik bisa diambil oleh
pemiliknya untuk memenuhi kebutuhan atau bisa juga menjadi pinjaman bagi mereka
yang tidak memiliki simpanan padi, terutama mereka yang memiliki lahan sangat
terbatas atau para buruh tani. Lunbung desa ini sekaligus merupakan sebuah
nilai kearifan untuk menguatkan “Social
Capital” masyarakat desa.
Dengan
sedikit sentuhan teknologi Lumbung desa sebagai sistem penyimpanan hasil panen
bisa menjadi solusi bagi petani untuk memperoleh keuntungan keuangan yang
memadai dari hasil panennya. Misalnya dengan teknologi sederhana petani bisa
melakukan pengeringan padi yang benar-benar menjamin kualitas selama
penyimpanan. Dengan sistem penyimpanan yang baik, melalui Lumbung Desa Plus,
petani tidak didesak untuk menjual hasil panen secepat mungkin setelah panen
tiba kepada para tengkulak yang memang selama ini menjadi hantu. Kondisi ini
menghindari petani untuk menjual hasil panen dengan harga yang murah. Disamping
itu juga perlu diperkuat dengan akses yang aman untuk memperoleh pinjaman
perbankan, karena kebiasaan petani menjual hasil panen secepatnya
disebabkan mereka terperangkap pada
sistem ijon (menjual kepada tengkulak sebelum dipanen, sehingga harga dimainkan
oleh tengkulak). Barangkali ke depan pemerintah perlu memberdayakan pemerintah
desa untuk berperan penting dalam mengelola sistem penyimpanan hasil panen.
Sejalan dengan rencana pemerintah untuk memperkuat desa dengan alokasi anggaran
masing-masing desa 1 milyar/tahun, maka terbuka peluang setiap desa untuk
mengembangkan Lumbung Desa Plus. Desa harus bisa membeli surplus padi saat
panen dengan harga kewajaran dan
disimpan di lumbung desa. Pada saat musim panen lewat, petani dan masyarakat
desa bisa memenuhi kebutuhan pangan dari lumbung desa. Jika ini bisa
direalisasikan, maka jaminan keamanan pangan bukan hanya dirasakan oleh petani
sendiri, tapi juga oleh bangsa ini secara keseluruhan. Ujungnya kita menjadi
bangsa yang tidak rapuh karena tidak mudah dimainkan oleh pangan internasional.
PENUTUP
Pangan
adalah kebutuhan setiap manusia. Bagi Indonesia beras adalah komoditas pangan
yang sangat penting karena 90 % lebih penduduk Indonesia mengkonsumsi beras.
Akan tetapi persoalan muncul ketika lahan pertanian sawah terus menurun akibat konversi lahan sehingga
menganggu persediaan. Akibatnya dalam level makro kita tidak punya pilihan
untuk menjadi importer beras. Dalam level mikro, pertanian menjadi sektor yang kurang menarik
dan kurang menguntungkan karena muncul stigma bahwa menjadi petani sulit hidup
sejahtera. Pada saat panen surplus padi
tidak membuat petani menikmati karena harga
padi turun. Petani tidak bisa menahan hasil panen dan harus segera menjual
karena terjerat hutang ataupun juga belum tersedianya fasilitas penyimpanan yang memadai. Oleh
karena itu untuk menaikan taraf hidup petani agar mampu meraih keuntungan dari
surplus panen, pemerintah perlu
mengembangkan sistem penyimpanan melalui Lumbung Desa Plus. Mekanisme kerjanya tidak jauh beda dengan Lumbung Desa yang ada
selama ini, hanya ada sentuhan teknologi dalam pengeringan sebelum padi disimpan
sebagai sebuah inovasi.
Daftar Pustaka
Awasthi,et
al, System Analysis of Food Security
Situation in India, in Journal of Food Security, Volume 1 Number 1, 2010, Institute
of Food Security Food Cosporation of India
Braun,
Joachim Von, 1992, Improving Food
Security of The Poor: Concept, Policy, and Programs, International Food
Policy Research Institute, Washington DC
Hamilton
WL,et al,1995, Household Security in the
United States in 1995: Technical Report of the Food Security Measurement
Project, US Department of Agriculture,Food and Consumer Service
Kantor,
LS, 2001, Community Food Security Program
Improve Food Access, Food Review, 2001; 24 (1): 20-26
0 komentar:
Posting Komentar