Oleh: Puji
Astuti
A. Pendahuluan
Pembangunan
merupakan sebuah upaya terencana untuk mencapai kemajuan bangsa. Hal
fundamental yang ingin kita capai dari pembangunan nasional kita adalah untuk mewujudkan cita-cita luhur yang telah dirumuskan oleh
para pendiri bangsa yang termuat dalam pembukaan UUD 1945 dan juga nilai-nilai
Pancasila sebagai dasar falsafah kita dalam berbangsa dan bernegara. Keduanya
merupakan nilai-nilai luhur yang diramu dari nilai-nilai kearifan lokal yang
nyata-nyata hidup dalam berbagai adat budaya yang tersebar dari sabang sampai
merauke. Oleh karena itu sepatutnya kita berterimakasih kepada bapak bangsa
yang telah mampu merajutkan perbedaan menjadi sebuah keharmonisan dalam prinsip
kebihinekatunggalika-an.
Setelah
69 tahun kita merdeka, berbagai upaya
pembangunan telah kita laksanakan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan agar kita menjadi
bangsa yang bermartabat dan tidak dipandang sebelah mata
oleh bangsa lain. Bung Karno
memiliki cita-cita yang sangat mulia agar kita menjadi bangsa yang berdaulat
secara politik, memiliki kemandirian secara ekonomi, dan juga berkepribadian
secara budaya. Rasanya impian Bung Karno sangatlah beralasan karena Indonesia
memang sebuah Negara besar bukan hanya dilihat dari potensi sumber daya
alamnya, akan tetapi juga dari sisi kekayaan
budaya yang bisa menjadi sebuah
kekuatan untuk membangun karakter bangsa. Kebudayaan yang bersifat dinamis
diharapkan memberi arah bagi perwujudan identitas nasional yang sesuai dengan
nilai-nilai luhur bangsa. Kebudayaan memang memiliki peran yang sangat pending
dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua konsep yang
berbeda akan tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Fungsi kebudayaan dalam
sebuah masyarakat adalah sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku
(Suparlan, 1995). Oleh karena itu sangat sulit membayangkan adanya masyarakat
tanpa kebudayaan dan sebaliknya. Wujud
kebudayaan sendiri dapat berupa sistem nilai /ideal), sistem sosial /aktivitas,
dan juga materi /kebendaan(Koentjaraningrat,1985). Terkait sistem nilai sebagai
kondisi ideal, nenek moyang kita telah mewariskannya kepada kita semua seperti
nilai gotong royong (kebersamaan), tenggang rasa (toleransi), demokrasi
(musyawarah mufakat). Keramahan dan sebagainya. Nilai-nilai inilah yang telah
lama diyakini sebagai perekat dan penyemangat dalam membangun kemerdekaan
Indonesia. Sungguh sulit dibayangkan bagaimana kita ingin membangun kehidupan yang adil dan
sejahtera (tata tentrem kartaraharja)
tanpa mengacu pada nilai-nilai nilai-nilai luhur budaya bangsa. Oleh karena itu, ditengah derasnya
arus globalisasi dimana budaya asing mengalir deras dan tidak terhindarkan,
maka kita dalam bermasyarakat dan
bernegara harus tetap harus berpegang
teguh pada nilai-nilai budaya bangsa. Nilai-nilai luhur bangsa harus ditanamkan
dan diamalkan oleh semua komponen bangsa, baik generasi muda maupun generasi tua.
Kita
tahu bahwa bangsa-bangsa yang hebat di dunia seperti Amerika, Jepang, China,Korea,
mereka mampu menjadi bangsa yang adidaya
bukan hanya karena mampu menguasai ilmu pengetahuan semata, akan tetapi juga
karena karakter yang dimiliki oleh bangsa mereka. Oleh karena itu pembangunan
yang kita laksanakan selayaknya bukan hanya mengejar pencapaian kemajuan di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi juga bagaimana membangun
karakter bangsa agar bisa bersaing dengan bangsa lain, terlebih di era global
yang sangat kompetitif saat ini.
Karakter
bangsa pada hakekatnya merupakan hasil dari penanaman budaya yang tidak kasat mata, yaitu nilai-nilai yang
dijunjung tinggi. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi di Indonesia sangatlah
beragam karena setiap adat dan suku yang ada di Indonesia memilikinya, yang
kita kenal dengan nilai-nilai lokal. Akan tetapi sebagai bangsa, Indonesia juga
memiliki nilai-nilai luhur yang berakar pada nilai-nilai lokal sebagai
keunggulan yang didalamnya mengandung nilai-nilai kebajikan secara universal,
yaitu Pancasila. Oleh karena itu sudah selayaknya Pancasila benar-benar menjadi
nilai yang dipahami, dihayati dan diamalkan oleh setiap manusia Indonesia.
Pembangunan nasional yang kita laksanakan diharapkan juga melahirkan
manusia-manusia Indonesia yang Pancasilais, yang didalam dirinya memiliki
karakter sebagai manusia yang relijius, humanis, punya rasa cinta tanah air,
menghormati perbedaan dan punya sikap yang demokratis, serta menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan sosial. Jadi pembangunan
nasional kita bukan hanya mengejar pembangunan fisik, tapi juga pembangunan
manusianya. Namun pada kenyataanya pembangunan kita nampaknyaq belum sepenuhnya
mampu menghasilkan manusia-manusia Pancasilais yang berkarakter ideal
sebagaimana kita cita-citakan. Pembangunan yang mengandalkan pada
prinsip-prinsip modernisasi (westernisasi) justru menghasilkan manusia-manusia
yang kental dengan sikap-sikap fragmatis, individualis, dan juga materialistik.
Ini tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri, terlebih kedepan masalah yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia semakin komplek, bukan hanya tantangan internal
tapi juga eksternal. Tantangan dari dalam negeri juga membutuhkan perhatian
yang sungguh-sungguh karena pembangunan yang belum merata sangat riskan menunculkan
konflik sosial, disamping juga meluasnya perilaku korup dan perilaku politik yang arogan. Sementara tantangan eksternal
juga perlu diwaspadai terutama globalisasi yang juga mengalirkan deras ke
Indonesia budaya-budaya asing yang ternyata lebih disukai oleh anak-anak muda,
dimana tanpa disadari dapat mengancam
jati diri bangsa karena kuatnya sikap-sikap hedonistik dan materialistik yang
bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa.
Kita
memang tidak menafikan bahwa berbagai kemajuan di berbagai segi kehidupan telah
kita capai melalui pembangunan. Akan tetapi kita juga tidak dapat mengingkari
bahwa pembangunan yang kita laksanakan tidak hanya memberi dampak positif, akan
tetapi juga sejumlah dampak negatif
sebagai sebuah konsekuensi yang harus kita terima dengan lapang dada. Ada
begitu banyak kondisi-kondisi kontradikstif yang dihasilkan dari pembangunan
nasional yang kita laksanakan. Mengapa hal ini bisa terjadi ? bagaimana kita
mengantisipasinya ?
B. Paradok Pembangunan
Bahwa
pembangunan nasional kita bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil
dan makmur, yang merata secara materiil dan spiritual berdasarkan nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945. Sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, maka pembangunan nasional yang kita
laksanakan haruslah memperhatikan aspek spiritual dan moralitas, menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan dan keberadaban, memperkuat nilai-nilai persatuan,
menjunjung tinggi permusyawaratan, dan juga mengupayakan pemeratan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan nasional kita
sesungguhnya hendak mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945.
Mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila adalah hal yang sangat relevan dan
sesuai dengan kondisi empirik bangsa karena apa yang terangkum dalam Pancasila
sesungguhnya punya akar yang kuat dalam budaya kita misalnya :
1) Ketuhanan
Yang Maha Esa (sila pertama sejalan dengan keyakinan yang sudah ada sejak lama
di masyarakat kita tentang “Kang sangkan
paraning dumadi”).
2) Kemanusiaan
yang adil dan beradab (sila kedua juga sejalan dengan nilai-nilai yang selalu
ditanamkan kepada kita bahwa “ jejering
manungsa kuwi kang duwe rasa kamanungsan”. Kita selalu diajarkan untuk welas
asih)
3) Sila
Ketiga Persatuan Indonesia (sila ketiga
sejalan dengan nilai atau ajaran
bahwa “rukun agawe santosa crah agawe
bubrah”)
4) Sila
keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan ( ini sejalan dengan nilai dan ajaran “yen ono rembug dirembug”)
5) Keadilan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (ini juga sejalan dengan nilai-nilai yang
ditanamkan kepada kita bahwa ”ana sithik
bagi sithik sing penting kabeh melu ngrasake”)
Banyak kemajuan telah kita raih sepanjang
sejarah pembangunan yang kita laksanakan seperti pertumbuhan ekonomi kita yang
tinggi sehingga mampu mengurangi angka kemiskinan, kehidupan politik kita yang
semakin demokratis. Akan tetapi kita juga tidak menafikan bahwa ada
kondisi-kondisi kontradiktif yang sadar atau tidak menyebabkan kita menjadi bangsa
yang kurang kompetitif dalam bersaing
dengan bangsa lain, misalnya korupsi, konflik horizontal, dan juga terorisme.
Jika dulu banyak bangsa lain mengenal bangsa kita sebagai bangsa yang jujur, ramah
dan murah senyum (the smiling countries),
tetapi saat ini tidak sedikit bangsa lain yang mengidentikan bangsa kita
dengan korupsi dan kekerasan. Dada ini
memang sering terasa sesak ketika melalui berbagai pemberitaan di televisi, korupsi
tak pernah lekang menjadi pemberitaan, dan yang menyedihkan para pelakunya
adalah para pejabat politik yang telah menerima mandat dari rakyat dengan
sumpah atas nama Tuhan. Fakta ini
menunjukan bahwa para pejabat yang memiliki pendidikan tinggi, bahkan mungkin
juga berlatarbelakang agama yang mumpuni, akan tetapi mereka
belum memiliki kesalehan spiritual.
Korupsi
yang telah muncul seperti endemik sebenarnya bukan persoalan yang berdiri
sendiri dan disebabkan semata-mata faktor internal yang ada pada pelakunya,
akan tetapi ada kondisi eksternal yang menumbuhsuburkan. Secara internal pada
diri pelaku korupsi ada ketamakan, tapi
di sisi lain juga karena ada pembiaraan dan sikap permisif masyarakat.
Menurut Jack Bologne yang dikutip oleh
Sirodz (2010,52), korupsi terjadi akibat ketamakan (greed), kesempatan (opportunity),
kebutuhan (needs) dan pembiaran (exposes). Perilaku korupsi ini sungguh
tidak menguntungkan bagi kita sebagai bangsa karena akan meningkatkan jumlah
kemiskinan,turunnya tingkat kepercayaan investor baik dari dalam maupun luar
negeri terhadap kinerja apartur pemerintah, serta hilangnya wibawa aparatur,
bahkan Negara, di mata masyarakat dan dunia. Oleh karena itu PBB pun mempatkan
korupsi bukan hanya sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) bahkan sebagai kejahatan kemanusiaan (humanity crime)
Korupsi
yang masif dilakukan oleh para pejabat Negara terjadi tidak lepas dari
lunturnya nilai-nilai kejujuran, dan menguatnya nilai-nilai materialistik.
Padahal nilai-nilai kejujuran merupakan kearifan lokal yang diajarkan dan
diwariskan oleh nenek moyang kita, yang bisa kita temukan di berbagai adat
budaya yang ada di Indonesia. Jangan mengambil apa yang bukan hak ( ojo seneng colong jupuk), rasanya
nilai-nilai itu ada di tengah-tengah setiap budaya yang hidup di Indonesia.
Demikian juga tuntunan agar kita tidak melakukan tindakan-tindakan kekerasan
dengan selalu menghargai perbedaan (tepo
sliro) dan mengedepankan musyawarah
(ana rembug di rembug). Sungguh menjadi
hal yang mengkhawatirkan apabila saat ini kita melihat maraknya tindakan
kekerasan yang terjadi di masyarakat seperti tawuran pelajar (bahkan juga
dilakukan oleh pelajar perempuan yang tergabung dalam geng), tawuran antar
desa, tawuran oleh geng motor yang sering mengarah pada kesadisan, tawuran
antar pendukung calon kepala daerah, bahkan baku hantam yang diperlihatkan oleh
anggota dewan dalam sidang Pansus Century. Korupsi, kekerasan, terorisme, yang
kini lekat dengan kita sesungguhnya sangat tidak menguntungkan bagi kita sebagai bangsa dan mengindikasikan bahwa jati diri bangsa kita
dalam bermasyarakat dan bernegara sedang dalam masalah.
Benarkah nilai-nilai global memiliki peran
dalam menggerogoti nilai-nilai kearifan lokal dan jati diri bangsa kita?
Meskipun kita tidak menafikan adanya pengaruh global yang menyebabkan lunturnya
nilai-nilai kearifan lokal sebagai nilai luhur bangsa, tetapi sungguh tidak
adil apabila kita menjadikan budaya global sebagai kambing hitam. Abad 21 yang dikenal sebagai era globalisasi
sebenarnya bukan hanya melahirkan tantangan, tapi sekaligus juga peluang. Dalam
perspektif kebangsaan, globalisasi menumbuhkan kesadaran bahwa kita merupakan
bagian dari masyarakat global dan bisa mengambil manfaat darinya. Di sisi lain
Globalisasi juga dapat menumbuhkan dorongan untuk lebih memperkuat jati diri
dan identitas bangsa, karena sesungguhnya bangsa dengan kekuatan kearifan lokal
lah yang dapat bertahan dari gempuran kapitalisme global. Kita melihat mengapa
bangsa lain masih bisa kuat mempertahankan budaya lokalnya di tengah budaya
global, seperti China, Jepang, India, Korea ? Bagaimana bangsa-bangsa ini masih
bisa menjadikan budaya lokal mereka sebagai kekuatan karakter bangsa yang
memperkuat kemampuan mereka dalam percaturan global? Budaya lokal bangsa-bangsa
ini justru mendunia. Berbagai kajian
menunjukan bahwa keberhasilan bangsa-bangsa seperti Cina, Jepang, Korea dan
Amerika dalam kompetisi global tidak
lepas dari dukungan kekuatan budaya yang mereka miliki sebagai keunggulan. Nampaknya
penanaman nilai-nilai kearifan lokal sebagai karakter bangsa benar-benar menjadi
nilai yang terinternalisasi sangat baik pada individu, masyarakat, maupun
pemerintah. Budaya malu misalnya sangat lekat pada individu-individu di Korea
dan Jepang. Di Korea dan Jepang, pejabat yang terindikasi Korupsi bukan hanya
akan mengundurkan diri dari jabatannya, akan tetapi tidak jarang melakukan
tindakan bunuh diri karena merasa malu.
Penguatan
nilai-nilai lokal sebagai karakter bangsa membutuhkan dukungan seluruh komponen
masyarkat, termasuk pemerintah. Dalam era otonomi daerah dan ditengah gempuran
globalisasi, pemerintah daerah punya peran penting untuk fasilitasi dalam
pelestarian dan penguatan nilai-nilai kearifan lokal, termasuk menghidupkan
berbagai tradisi masyarakat yang sekarang mulai tergerus oleh budaya popular
dan budaya asing.
C. Petingnya Penguatan Nilai-Nilai Luhur
Bangsa
Jika
kita melihat kemajuan Amerika, Jepang, China, selalu ada keyakinan bahwa apa
yang mereka raih saat ini tidak lepas dari karakter. Apa sesungguhnya karakter dan mengapa
karakter begitu penting bagi sebuah bangsa sehingga kita pun mengenal adanya
konsep pembangunan karakter (character
building). Karakter bangsa akan menentukan berhasil atau hancurnya
bangsa. Menurut Lickona (1992:32) ada 10
tanda dari kehancuran suatiu bangsa yaitu :
1)
Meningkatnya
kekerasan di kalangan remaja; 2)Ketidakjujuran yang nmembudaya;
2)
Semakin
tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru dan figur pemimpin;
3)
Pengaruh
peer group terhadap tindakan kekerasan;
4)
Meningkatnya
kecuriogaan dan kebencian;
5)
Penggunaan
bahasa yang memburuk;
6)
Penurunan
etos kerja;
7)
Menurunya
rasa tanggungjawab individ dan warga Negara;
8)
Meningginya
perilaku merusak diri; dan semakin kaburnya pedoman moral
Kita
sebenarnya bangsa dengan beragam budaya yang dikagumi oleh banyak bangsa lain
di dunia, mulai dari kulinernya atau makananya, tarianya, kerajinan tangannya.
Dari sabang sampai merauke kita punya puluhan jenis kekhasan makanan, tarian,
kerajinan tangan, yang sebenarnya bisa menjadi sumber pendapatan yang
mendatangkan devisa apabila dikemas dengan baik. Thailand, Malaysia, Korea,
Singapura, Vietnam, potensinya tidak lebih baik dari kita, tetapi melalui
pengemasan yang baik, saat ini mereka mampu menjadi daya tarik wisatawan asing
yang jauh lebih baik dari Indonesia. Tapi yang tidak kalah penting adalah
perilaku dan sikap mereka terhadap wisatawan. Mereka mampu melahirkan budaya
pelancongan (tourism culuture) dengan
menempatkan turis sebagai raja, memperlihatkan sikap bersahabat dan
menyenangkan bagi turis, serta memelihara kebersihan di tempat-tempat wisata.
Kondisi ini sangat jauh dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat kita yang bersikap kurang
menyenangkan bagi wisatawan (misalnya
menawarkan cenderamata dengan sikap
memaksa). Ini baru satu contoh
sikap dan perilaku yang kurang menguntungkan di bidang pariwisata. Padahal
nenek moyak kita mewariskan kepada kita agar kita menjadi manusia yang penuh
sopan santun dan ramah.
Melakukan
pelestarian budaya dan nilai-nilai lokal saat ini bukanlah pekerjaan mudah
karena di era teknologi informasi yang menyebabkan dunia tak berbatas (bordelless world) , maka setiap individu
sangat terbuka untuk mengakses berbagai informasi dari berbagai sumber,
termasuk mengakses budaya asing. Fenomena yang sangat menyedihkan adalah
banyaknya generasi muda yang justru gandrung
(tergila-gila) pada budaya-budaya
asing dan mengabaikan budaya-budaya lokal yang sebenarnya memiliki nilai yang
sangat tinggi ( adhiluhung). Sungguh
sebuah ironi ketika banyak anak muda dari berbagai Negara sangat
bersunggguh-sungguh mempelajari berbagai budaya lokal di Indonesia, tapi
anak-anak muda Indonesia sendiri justru tidak mau mempelajari, bahkan tidak
memiliki kebanggan atas budaya luhur bangsa. Anak-anak muda sekarang bahkan
lebih menyukai gaya hidup bangsa asing (cara berpakaian, cara bergaul,cara
berbicara dsb). Oleh karena itu saatnya kita melestarikan nilai-nilai kearifan
lokal sebagai nilai-nilai luhur bangsa
secara terintegrasi antara keluarga, sekolah dan pemerintah. Keluarga memiliki
peran penting yang memberikan fondasi dalam penanaman nilai-nilai lokal sedini
mungkin sejak anak-anak, seperti nilai-nilai kejujuran,kesopanan,
tanggungjawab, tenggang rasa, yang kemudian diperkuat di sekolah melalui
kurikulum yang meneguhkan nilai-nilai yang telah ditanamkan keluarga melalui
pendidikan agama, pendidikan budi pekerti,pendidikan kesenian lokal, sedangkan pemerintah memberikan wadah agar nilai-nilai lokal
semakin tumbuh subur yang akan bermuara pada keyakinan bahwa nilai-nilai kearifan lokal sebagai nilai-nilai luhur
bangsa harus ditaati, dihayati dan dilestarikan.
Di beberapa pemerintah daerah misalnya mulai ada kewajiban untuk menggunakan
bahasa daerah dan pakaian daerah pada hari-hari tertentu. Mungkin awalnya akan berat,akan tetapi lama
kelamaan akan menjadi kebiasaan.
Penguatan
karakter bangsa yang berbasis pada nilai-nilai lokalitas adalah kemutlakan
dalam pembangunan yang berorientasi pada keberlanjutan (sustainabilitas).
Bahkan peribahasa Inggris mengungkapkan “ When
wealth is lost, noting is lost: when health is lost, something is lost; when
character is lost, everything is lost” (Moh. Nuh, 2013:53). Dalam
masyarakat Indonesia yang paternalistik, pembangunan karakter diharapkan membentuk orang dengan pemahaman atas
nilai-nilai kebaikan, kemudian berkomitmen terhadap kebaikan dan pada akhirnya
mampu benar-benar melakukan kebaikan. Dalam masyarakat jawa ada istilah yang
sangat luar biasa maknanya agar manusia itu mensinergikan apa yang difikirkan,
diucapkan, dan dilakukan (Gayuting lathi,
ati, pakarti). Kondisi empirik kemasyarakatan kita untuk mencapai hal
tersebut mensyaratkan dua hal yaitu suri tauladan (Modeling) dan pembiasaan (habituation).
Pentingnya suri tauladan dalam penanaman nilai-nilai kebaikan bahkan sangat
jelas dicontohkan oleh pepatah “ Guru
kencing berdiri, murid kencing berlari”. Dengan demikian jelas bahwa
pembentukan karakter yang berbasis nilai-nilai kearifan lokal untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan membutuhkan kerjasama yang baik antara keluarga, masyarakat
(termasuk sekolah) dan pemerintah. Keluarga adalah lingkungan pertama dimana
anak belajar nilai-nilai kebajikan. Pola-pola kebiasaan yang ditanamkan dalam
keluarga akan membentuk kebiasaan dan kemudian menjadi sebuah budaya.
Masyarakat juga perlu memiliki kepedulian agar terbentuk kebiasaan-kebiasaan
yang baik dalam interaksi sosial, seperti sopan santun, toleransi, kepedulian
sosial, kelestarian lingkungan, gotong royong, dan sebagainya. Dengan sinergi
yang baik antara keluarga, masyarakat dan pemerintah dalam pelestarian
nilai-nilai luhur yang berbasis nilai-nilai lokalitas maka diharapkan pengaruh
atau dampak buruk pembangunan yang mengedepankan prinsip-prinsip modernitas
dapat diminimalisir.
Sejarah
mencatat bahwa Indonesia pernah menjadi pusat budaya dunia, karena nenek moyak
kita sesungguhnya pernah menjadi guru bagi bangsa Cina, India dan Yunani
(Samantho, 2011). Maka sebuah ironi kalau kita sebagai bangsa yang merdeka saat
ini justru dikenal sebagai bangsa yang sangat tergantung pada bangsa lain
secara, politik, ekonomi, dan juga budaya. Oleh karena itu karena itu
merekonstruksi sumberdaya Indonesia dengan menguatkan nilai-nilai luhur
bangsa dalam pembangunan adalah sebuah
keharusan agar kita kembali menjadi bangsa yang kuat dan bermartabat.
C. Penutup
Bangsa
yang besar adalah bangsa yang mampu melestarikan budaya dan sejarah bangsanya.
Dalam era global yang kompetitif saat ini, kembali ke jati diri bangsa dengan
menanamkan, menghayati, mengamalkan dan memanfaatkan nilai-nilai lihur bangsa
yang berbasis kearifan lokal adalah sebuah keharusan dalam pembangunan
nasional, agar kita menjadi bangsa yang berdaulat dan bermartabat.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat, 1985, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan,
Jakarta, Gramedia
Lickona, T (1992), Education For Character How Our Schools Can Teach Respect and Reponsibility, NY, Bantam Books
Nuh, Muhammad, 2013, Menyemai Kreator Peradaban: renungan Tentang Pendidikan, Agama dan Budaya, Jakarta, Zaman
Samntho, Abdurahman, et all, 2011, Peradaban Atlantis Nusantara, Ufuk, Jakarta
Lickona, T (1992), Education For Character How Our Schools Can Teach Respect and Reponsibility, NY, Bantam Books
Nuh, Muhammad, 2013, Menyemai Kreator Peradaban: renungan Tentang Pendidikan, Agama dan Budaya, Jakarta, Zaman
Samntho, Abdurahman, et all, 2011, Peradaban Atlantis Nusantara, Ufuk, Jakarta
Sirodz, Akhmad, 2010, Aktualisasi Nilai Dalam Pengembangan Diri,
Jakarta, Evolitera
Suparlan, Parsudi, 1995, Orang Sakai, Pekan Baru, Pemerintah
Provinsi Riau
0 komentar:
Posting Komentar