Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

DAMPAK PEMBANGUNAN TERHADAP NILAI-NILAI LUHUR BANGSADAMPAK PEMBANGUNAN TERHADAP NILAI-NILAI LUHUR BANGSA


Oleh: Puji Astuti
A. Pendahuluan
Pembangunan merupakan sebuah upaya terencana untuk mencapai kemajuan bangsa. Hal fundamental yang ingin kita capai dari pembangunan nasional kita   adalah untuk mewujudkan  cita-cita luhur yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa yang termuat dalam pembukaan UUD 1945 dan juga nilai-nilai Pancasila sebagai dasar falsafah kita dalam berbangsa dan bernegara. Keduanya merupakan nilai-nilai luhur yang diramu dari nilai-nilai kearifan lokal yang nyata-nyata hidup dalam berbagai adat budaya yang tersebar dari sabang sampai merauke. Oleh karena itu sepatutnya kita berterimakasih kepada bapak bangsa yang telah mampu merajutkan perbedaan menjadi sebuah keharmonisan dalam prinsip kebihinekatunggalika-an.
Setelah  69 tahun kita merdeka, berbagai upaya pembangunan telah kita laksanakan  untuk  mewujudkan  kemakmuran dan kesejahteraan agar kita menjadi bangsa yang  bermartabat dan tidak  dipandang  sebelah mata  oleh bangsa  lain. Bung Karno memiliki cita-cita yang sangat mulia agar kita menjadi bangsa yang berdaulat secara politik, memiliki kemandirian secara ekonomi, dan juga berkepribadian secara budaya. Rasanya impian Bung Karno sangatlah beralasan karena Indonesia memang sebuah Negara besar bukan hanya dilihat dari potensi sumber daya alamnya, akan tetapi juga dari sisi kekayaan   budaya yang bisa menjadi sebuah kekuatan untuk membangun karakter bangsa. Kebudayaan yang bersifat dinamis diharapkan memberi arah bagi perwujudan identitas nasional yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa. Kebudayaan memang memiliki peran yang sangat pending dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua konsep yang berbeda akan tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Fungsi kebudayaan dalam sebuah masyarakat adalah sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku (Suparlan, 1995). Oleh karena itu sangat sulit membayangkan adanya masyarakat tanpa kebudayaan dan sebaliknya.  Wujud kebudayaan sendiri dapat berupa sistem nilai /ideal), sistem sosial /aktivitas, dan juga materi /kebendaan(Koentjaraningrat,1985). Terkait sistem nilai sebagai kondisi ideal, nenek moyang kita telah mewariskannya kepada kita semua seperti nilai gotong royong (kebersamaan), tenggang rasa (toleransi), demokrasi (musyawarah mufakat). Keramahan dan sebagainya. Nilai-nilai inilah yang telah lama diyakini sebagai perekat dan penyemangat dalam membangun kemerdekaan Indonesia. Sungguh sulit dibayangkan bagaimana kita  ingin membangun kehidupan yang adil dan sejahtera (tata tentrem kartaraharja) tanpa mengacu pada nilai-nilai nilai-nilai luhur budaya  bangsa. Oleh karena itu, ditengah derasnya arus globalisasi dimana budaya asing mengalir deras dan tidak terhindarkan, maka  kita dalam bermasyarakat dan bernegara harus  tetap harus berpegang teguh pada nilai-nilai budaya bangsa. Nilai-nilai luhur bangsa harus ditanamkan dan diamalkan oleh semua komponen bangsa, baik generasi muda maupun generasi tua.
Kita tahu bahwa bangsa-bangsa yang hebat di dunia seperti Amerika, Jepang, China,Korea,  mereka mampu menjadi bangsa yang adidaya bukan hanya karena mampu menguasai ilmu pengetahuan semata, akan tetapi juga karena karakter yang dimiliki oleh bangsa mereka. Oleh karena itu pembangunan yang kita laksanakan selayaknya bukan hanya mengejar pencapaian kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi juga bagaimana membangun karakter bangsa agar bisa bersaing dengan bangsa lain, terlebih di era global yang sangat kompetitif saat ini.
Karakter bangsa pada hakekatnya merupakan hasil dari penanaman budaya  yang tidak kasat mata, yaitu nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi di Indonesia sangatlah beragam karena setiap adat dan suku yang ada di Indonesia memilikinya, yang kita kenal dengan nilai-nilai lokal. Akan tetapi sebagai bangsa, Indonesia juga memiliki nilai-nilai luhur yang berakar pada nilai-nilai lokal sebagai keunggulan yang didalamnya mengandung nilai-nilai kebajikan secara universal, yaitu Pancasila. Oleh karena itu sudah selayaknya Pancasila benar-benar menjadi nilai yang dipahami, dihayati dan diamalkan oleh setiap manusia Indonesia. Pembangunan nasional yang kita laksanakan diharapkan juga melahirkan manusia-manusia Indonesia yang Pancasilais, yang didalam dirinya memiliki karakter sebagai manusia yang relijius, humanis, punya rasa cinta tanah air, menghormati perbedaan dan punya sikap yang demokratis, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial.  Jadi pembangunan nasional kita bukan hanya mengejar pembangunan fisik, tapi juga pembangunan manusianya. Namun pada kenyataanya pembangunan kita nampaknyaq belum sepenuhnya mampu menghasilkan manusia-manusia Pancasilais yang berkarakter ideal sebagaimana kita cita-citakan. Pembangunan yang mengandalkan pada prinsip-prinsip modernisasi (westernisasi) justru menghasilkan manusia-manusia yang kental dengan sikap-sikap fragmatis, individualis, dan juga materialistik. Ini tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri, terlebih kedepan masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia semakin komplek, bukan hanya tantangan internal tapi juga eksternal. Tantangan dari dalam negeri juga membutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh karena pembangunan yang belum merata sangat riskan menunculkan konflik sosial, disamping juga meluasnya perilaku korup dan perilaku politik  yang arogan. Sementara tantangan eksternal juga perlu diwaspadai terutama globalisasi yang juga mengalirkan deras ke Indonesia budaya-budaya asing yang ternyata lebih disukai oleh anak-anak muda, dimana  tanpa disadari dapat mengancam jati diri bangsa karena kuatnya sikap-sikap hedonistik dan materialistik yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa.
Kita memang tidak menafikan bahwa berbagai kemajuan di berbagai segi kehidupan telah kita capai melalui pembangunan. Akan tetapi kita juga tidak dapat mengingkari bahwa pembangunan yang kita laksanakan tidak hanya memberi dampak positif, akan tetapi juga sejumlah  dampak negatif sebagai sebuah konsekuensi yang harus kita terima dengan lapang dada. Ada begitu banyak kondisi-kondisi  kontradikstif yang dihasilkan dari pembangunan nasional yang kita laksanakan. Mengapa hal ini bisa terjadi ? bagaimana kita mengantisipasinya ?
B. Paradok  Pembangunan
Bahwa pembangunan nasional kita bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang merata secara materiil dan spiritual berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Sesuai dengan nilai-nilai Pancasila,  maka pembangunan nasional yang kita laksanakan haruslah memperhatikan aspek spiritual dan moralitas, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan keberadaban, memperkuat nilai-nilai persatuan, menjunjung tinggi permusyawaratan, dan juga mengupayakan pemeratan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan nasional kita sesungguhnya hendak mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945. Mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila adalah hal yang sangat relevan dan sesuai dengan kondisi empirik bangsa karena apa yang terangkum dalam Pancasila sesungguhnya punya akar yang kuat dalam budaya kita misalnya :
1)      Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama sejalan dengan keyakinan yang sudah ada sejak lama di masyarakat kita tentang “Kang sangkan paraning dumadi”).
2)      Kemanusiaan yang adil dan beradab (sila kedua juga sejalan dengan nilai-nilai yang selalu ditanamkan kepada kita bahwa “ jejering manungsa kuwi kang duwe rasa kamanungsan”. Kita selalu diajarkan untuk welas asih)
3)      Sila Ketiga Persatuan Indonesia (sila ketiga  sejalan dengan nilai atau  ajaran bahwa “rukun agawe santosa crah agawe bubrah”)
4)      Sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan ( ini sejalan dengan nilai dan ajaran “yen ono rembug dirembug”)
5)      Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (ini juga sejalan dengan nilai-nilai yang ditanamkan kepada kita bahwa ”ana sithik bagi sithik sing penting kabeh melu ngrasake”)
Banyak kemajuan telah kita raih sepanjang sejarah pembangunan yang kita laksanakan seperti pertumbuhan ekonomi kita yang tinggi sehingga mampu mengurangi angka kemiskinan, kehidupan politik kita yang semakin demokratis. Akan tetapi kita juga tidak menafikan bahwa ada kondisi-kondisi kontradiktif yang sadar atau tidak menyebabkan kita menjadi bangsa yang kurang  kompetitif dalam bersaing dengan bangsa lain, misalnya korupsi, konflik horizontal, dan juga terorisme. Jika dulu banyak bangsa lain mengenal bangsa kita sebagai bangsa yang jujur, ramah dan murah senyum (the smiling countries), tetapi saat ini tidak sedikit bangsa lain yang mengidentikan bangsa kita dengan  korupsi dan kekerasan. Dada ini memang sering terasa sesak ketika melalui berbagai pemberitaan di televisi, korupsi tak pernah lekang menjadi pemberitaan, dan yang menyedihkan para pelakunya adalah para pejabat politik yang telah menerima mandat dari rakyat dengan sumpah  atas nama Tuhan. Fakta ini menunjukan bahwa para pejabat yang memiliki pendidikan tinggi, bahkan mungkin juga berlatarbelakang agama yang mumpuni, akan tetapi  mereka  belum memiliki kesalehan spiritual.
 Korupsi yang telah muncul seperti endemik sebenarnya bukan persoalan yang berdiri sendiri dan disebabkan semata-mata faktor internal yang ada pada pelakunya, akan tetapi ada kondisi eksternal yang menumbuhsuburkan. Secara internal pada diri pelaku korupsi  ada ketamakan, tapi di sisi lain juga karena ada pembiaraan dan sikap permisif masyarakat. Menurut  Jack Bologne yang dikutip oleh Sirodz (2010,52), korupsi terjadi akibat ketamakan (greed), kesempatan (opportunity), kebutuhan (needs) dan pembiaran (exposes). Perilaku korupsi ini sungguh tidak menguntungkan bagi kita sebagai bangsa karena akan meningkatkan jumlah kemiskinan,turunnya tingkat kepercayaan investor baik dari dalam maupun luar negeri terhadap kinerja apartur pemerintah, serta hilangnya wibawa aparatur, bahkan Negara, di mata masyarakat dan dunia. Oleh karena itu PBB pun mempatkan korupsi bukan hanya sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) bahkan sebagai kejahatan kemanusiaan (humanity crime)
Korupsi yang masif dilakukan oleh para pejabat Negara terjadi tidak lepas dari lunturnya nilai-nilai kejujuran, dan menguatnya nilai-nilai materialistik. Padahal nilai-nilai kejujuran merupakan kearifan lokal yang diajarkan dan diwariskan oleh nenek moyang kita, yang bisa kita temukan di berbagai adat budaya yang ada di Indonesia. Jangan mengambil apa yang bukan hak ( ojo seneng colong jupuk), rasanya nilai-nilai itu ada di tengah-tengah setiap budaya yang hidup di Indonesia. Demikian juga tuntunan agar kita tidak melakukan tindakan-tindakan kekerasan dengan selalu menghargai perbedaan (tepo sliro) dan  mengedepankan musyawarah (ana rembug di rembug). Sungguh menjadi hal yang mengkhawatirkan apabila saat ini kita melihat maraknya tindakan kekerasan yang terjadi di masyarakat seperti tawuran pelajar (bahkan juga dilakukan oleh pelajar perempuan yang tergabung dalam geng), tawuran antar desa, tawuran oleh geng motor yang sering mengarah pada kesadisan, tawuran antar pendukung calon kepala daerah, bahkan baku hantam yang diperlihatkan oleh anggota dewan dalam sidang Pansus Century. Korupsi, kekerasan, terorisme, yang kini lekat dengan kita sesungguhnya sangat tidak menguntungkan  bagi kita sebagai bangsa dan  mengindikasikan bahwa jati diri bangsa kita dalam bermasyarakat dan bernegara sedang dalam masalah.
 Benarkah nilai-nilai global memiliki peran dalam menggerogoti nilai-nilai kearifan lokal dan jati diri bangsa kita? Meskipun kita tidak menafikan adanya pengaruh global yang menyebabkan lunturnya nilai-nilai kearifan lokal sebagai nilai luhur bangsa, tetapi sungguh tidak adil apabila kita menjadikan budaya global sebagai kambing hitam.  Abad 21 yang dikenal sebagai era globalisasi sebenarnya bukan hanya melahirkan tantangan, tapi sekaligus juga peluang. Dalam perspektif kebangsaan, globalisasi menumbuhkan kesadaran bahwa kita merupakan bagian dari masyarakat global dan bisa mengambil manfaat darinya. Di sisi lain Globalisasi juga dapat menumbuhkan dorongan untuk lebih memperkuat jati diri dan identitas bangsa, karena sesungguhnya bangsa dengan kekuatan kearifan lokal lah yang dapat bertahan dari gempuran kapitalisme global. Kita melihat mengapa bangsa lain masih bisa kuat mempertahankan budaya lokalnya di tengah budaya global, seperti China, Jepang, India, Korea ? Bagaimana bangsa-bangsa ini masih bisa menjadikan budaya lokal mereka sebagai kekuatan karakter bangsa yang memperkuat kemampuan mereka dalam percaturan global? Budaya lokal bangsa-bangsa ini justru mendunia.  Berbagai kajian menunjukan bahwa keberhasilan bangsa-bangsa seperti Cina, Jepang, Korea dan Amerika dalam kompetisi global  tidak lepas dari dukungan kekuatan budaya yang mereka miliki sebagai keunggulan. Nampaknya penanaman nilai-nilai kearifan lokal  sebagai karakter bangsa benar-benar menjadi nilai yang terinternalisasi sangat baik pada individu, masyarakat, maupun pemerintah. Budaya malu misalnya sangat lekat pada individu-individu di Korea dan Jepang. Di Korea dan Jepang, pejabat yang terindikasi Korupsi bukan hanya akan mengundurkan diri dari jabatannya, akan tetapi tidak jarang melakukan tindakan bunuh diri karena merasa malu.
Penguatan nilai-nilai lokal sebagai karakter bangsa membutuhkan dukungan seluruh komponen masyarkat, termasuk pemerintah. Dalam era otonomi daerah dan ditengah gempuran globalisasi, pemerintah daerah punya peran penting untuk fasilitasi dalam pelestarian dan penguatan nilai-nilai kearifan lokal, termasuk menghidupkan berbagai tradisi masyarakat yang sekarang mulai tergerus oleh budaya popular dan budaya asing.
C. Petingnya Penguatan Nilai-Nilai Luhur Bangsa
Jika kita melihat kemajuan Amerika, Jepang, China, selalu ada keyakinan bahwa apa yang mereka raih saat ini tidak lepas dari karakter.  Apa sesungguhnya karakter dan mengapa karakter begitu penting bagi sebuah bangsa sehingga kita pun mengenal adanya konsep pembangunan karakter (character building). Karakter bangsa akan menentukan berhasil atau hancurnya bangsa.  Menurut Lickona (1992:32) ada 10 tanda dari kehancuran suatiu bangsa yaitu :
1)      Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; 2)Ketidakjujuran yang nmembudaya;
2)      Semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru dan figur pemimpin;
3)      Pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan;
4)      Meningkatnya kecuriogaan dan kebencian;
5)      Penggunaan bahasa yang memburuk;
6)      Penurunan etos kerja;
7)      Menurunya rasa tanggungjawab individ dan warga Negara;
8)      Meningginya perilaku merusak diri; dan semakin kaburnya pedoman moral
Kita sebenarnya bangsa dengan beragam budaya yang dikagumi oleh banyak bangsa lain di dunia, mulai dari kulinernya atau makananya, tarianya, kerajinan tangannya. Dari sabang sampai merauke kita punya puluhan jenis kekhasan makanan, tarian, kerajinan tangan, yang sebenarnya bisa menjadi sumber pendapatan yang mendatangkan devisa apabila dikemas dengan baik. Thailand, Malaysia, Korea, Singapura, Vietnam, potensinya tidak lebih baik dari kita, tetapi melalui pengemasan yang baik, saat ini mereka mampu menjadi daya tarik wisatawan asing yang jauh lebih baik dari Indonesia. Tapi yang tidak kalah penting adalah perilaku dan sikap mereka terhadap wisatawan. Mereka mampu melahirkan budaya pelancongan (tourism culuture) dengan menempatkan turis sebagai raja, memperlihatkan sikap bersahabat dan menyenangkan bagi turis, serta memelihara kebersihan di tempat-tempat wisata. Kondisi ini sangat jauh dengan kebiasaan-kebiasaan  masyarakat kita yang bersikap kurang menyenangkan bagi wisatawan (misalnya  menawarkan cenderamata dengan sikap  memaksa).  Ini baru satu contoh sikap dan perilaku yang kurang menguntungkan di bidang pariwisata. Padahal nenek moyak kita mewariskan kepada kita agar kita menjadi manusia yang penuh sopan santun dan ramah.
Melakukan pelestarian budaya dan nilai-nilai lokal saat ini bukanlah pekerjaan mudah karena di era teknologi informasi yang menyebabkan dunia tak berbatas (bordelless world) , maka setiap individu sangat terbuka untuk mengakses berbagai informasi dari berbagai sumber, termasuk mengakses budaya asing. Fenomena yang sangat menyedihkan adalah banyaknya generasi muda yang justru gandrung  (tergila-gila) pada budaya-budaya asing dan mengabaikan budaya-budaya lokal yang sebenarnya memiliki nilai yang sangat tinggi ( adhiluhung). Sungguh sebuah ironi ketika banyak anak muda dari berbagai Negara sangat bersunggguh-sungguh mempelajari berbagai budaya lokal di Indonesia, tapi anak-anak muda Indonesia sendiri justru tidak mau mempelajari, bahkan tidak memiliki kebanggan atas budaya luhur bangsa. Anak-anak muda sekarang bahkan lebih menyukai gaya hidup bangsa asing (cara berpakaian, cara bergaul,cara berbicara dsb). Oleh karena itu saatnya kita melestarikan nilai-nilai kearifan lokal sebagai nilai-nilai luhur  bangsa secara terintegrasi antara keluarga, sekolah dan pemerintah. Keluarga memiliki peran penting yang memberikan fondasi dalam penanaman nilai-nilai lokal sedini mungkin sejak anak-anak, seperti nilai-nilai kejujuran,kesopanan, tanggungjawab, tenggang rasa, yang kemudian diperkuat di sekolah melalui kurikulum yang meneguhkan nilai-nilai yang telah ditanamkan keluarga melalui pendidikan agama, pendidikan budi pekerti,pendidikan kesenian lokal,  sedangkan pemerintah  memberikan wadah agar nilai-nilai lokal semakin tumbuh subur yang akan bermuara pada keyakinan bahwa nilai-nilai  kearifan lokal sebagai nilai-nilai luhur bangsa harus  ditaati, dihayati dan dilestarikan. Di beberapa pemerintah daerah misalnya mulai ada kewajiban untuk menggunakan bahasa daerah dan pakaian daerah pada hari-hari tertentu.  Mungkin awalnya akan berat,akan tetapi lama kelamaan akan menjadi kebiasaan.
Penguatan karakter bangsa yang berbasis pada nilai-nilai lokalitas adalah kemutlakan dalam pembangunan yang berorientasi pada keberlanjutan (sustainabilitas). Bahkan peribahasa Inggris mengungkapkan “ When wealth is lost, noting is lost: when health is lost, something is lost; when character is lost, everything is lost” (Moh. Nuh, 2013:53). Dalam masyarakat Indonesia yang paternalistik, pembangunan karakter diharapkan  membentuk orang dengan pemahaman atas nilai-nilai kebaikan, kemudian berkomitmen terhadap kebaikan dan pada akhirnya mampu benar-benar melakukan kebaikan. Dalam masyarakat jawa ada istilah yang sangat luar biasa maknanya agar manusia itu mensinergikan apa yang difikirkan, diucapkan, dan dilakukan (Gayuting lathi, ati, pakarti). Kondisi empirik kemasyarakatan kita untuk mencapai hal tersebut mensyaratkan dua hal yaitu suri tauladan (Modeling) dan pembiasaan (habituation). Pentingnya suri tauladan dalam penanaman nilai-nilai kebaikan bahkan sangat jelas dicontohkan oleh pepatah “ Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Dengan demikian jelas bahwa pembentukan karakter yang berbasis nilai-nilai kearifan lokal  untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan membutuhkan kerjasama yang baik antara keluarga, masyarakat (termasuk sekolah) dan pemerintah. Keluarga adalah lingkungan pertama dimana anak belajar nilai-nilai kebajikan. Pola-pola kebiasaan yang ditanamkan dalam keluarga akan membentuk kebiasaan dan kemudian menjadi sebuah budaya. Masyarakat juga perlu memiliki kepedulian agar terbentuk kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam interaksi sosial, seperti sopan santun, toleransi, kepedulian sosial, kelestarian lingkungan, gotong royong, dan sebagainya. Dengan sinergi yang baik antara keluarga, masyarakat dan pemerintah dalam pelestarian nilai-nilai luhur yang berbasis nilai-nilai lokalitas maka diharapkan pengaruh atau dampak buruk pembangunan yang mengedepankan prinsip-prinsip modernitas dapat diminimalisir.
Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah menjadi pusat budaya dunia, karena nenek moyak kita sesungguhnya pernah menjadi guru bagi bangsa Cina, India dan Yunani (Samantho, 2011). Maka sebuah ironi kalau kita sebagai bangsa yang merdeka saat ini justru dikenal sebagai bangsa yang sangat tergantung pada bangsa lain secara, politik, ekonomi, dan juga budaya. Oleh karena itu karena itu merekonstruksi sumberdaya Indonesia dengan menguatkan nilai-nilai luhur bangsa  dalam pembangunan adalah sebuah keharusan agar kita kembali menjadi bangsa yang kuat dan bermartabat.

C. Penutup
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu melestarikan budaya dan sejarah bangsanya. Dalam era global yang kompetitif saat ini, kembali ke jati diri bangsa dengan menanamkan, menghayati, mengamalkan dan memanfaatkan nilai-nilai lihur bangsa yang berbasis kearifan lokal adalah sebuah keharusan dalam pembangunan nasional, agar kita menjadi bangsa yang berdaulat dan bermartabat.
 
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat, 1985, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Jakarta, Gramedia
Lickona, T (1992), Education For Character How Our Schools Can Teach Respect and Reponsibility, NY, Bantam Books
Nuh, Muhammad, 2013, Menyemai Kreator Peradaban: renungan Tentang Pendidikan, Agama dan Budaya, Jakarta, Zaman
Samntho, Abdurahman, et all, 2011, Peradaban Atlantis Nusantara, Ufuk, Jakarta
Sirodz, Akhmad, 2010, Aktualisasi Nilai Dalam Pengembangan Diri, Jakarta, Evolitera
Suparlan, Parsudi, 1995, Orang Sakai, Pekan Baru, Pemerintah Provinsi Riau









  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar