Oleh : Puji
Astuti
PENDAHULUAN
Korupsi
bukanlah sebuah fenomena baru di Indonesia, karena korupsi sudah sejak lama
menjadi bagian dari aktivitas penyimpangan yang dilakukan oleh banyak pejabat
publik untuk memenuhi keuntungan-keuntungan pribadi. Upaya pemberantasan
korupsi pun juga bukan langkah baru yang dilakukan di Indonesia. Akan tetapi memasuki
era reformasi dimana pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap persoalan
pemberantasan korupsi, akan tetapi fenomena korupsi bahkan semakin massif
seperti cendawan di musim hujan. Maraknya tindakan korupsi terutama oleh
pejabat public di Indonesia bahkan kemudian memunculkan asumsi-asumsi dan penilaian bahwa korupsi di
Indonesia sudah membudaya. Asumsi dan penilaian ini nampaknya tidak tanpa
dasar, dikarenakan korupsi yang
benar-benar massif terjadi diberbagai
institusi Negara juga korporasi, serta adanya kecenderungan sikap permisif
masyarakat terhadap pelaku korupsi. Perilaku korupsi yang banyak dilakukan oleh
pejabat negara ini tidak dapat dipisahkan
dari kondisi masa pemerintahan Orde Baru dimana rejim Suharto
menciptakan pemerintahan yang sukar dokontrol oleh masyarakat, termasuk pengawasan
terhadap pejabat Negara yang melakukan korup. Pemerintahan yang sangat
sentralistik dengan pendekatan Top Down melahirkan pemerintahan yang sangat kuat, tidak dipungkiri membuat korupsi menjadi realitas
yang tidak mudah disentuh oleh masyarakat.
Sesungguhnya
upaya pemerintah Indonesia untuk memerangi korupsi sudah ada sejak lama. Hal
ini dibuktikan dengan lahirnya berbagai peraturan perundangan sebagai alat
pencegahan dan jugan penindakan atas perilaku korupsi. Pada masa pemerintahan
Orde Lama juga telah lahir peraturan untuk menanggulangi korupsi yaitu
Prt.Peperpu.C13/1958 yang merupakan
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat. Peraturan
ini sesungguhnya cukup istimewa karena mengatur system pendaftaran harta benda
pejabat public oleh Badan Penilik Harta benda, juga terdapat atuan tentang
pengajuan gugatan perdata berdasarkan perbuatan melanggar hokum bagi orang yang
mempunyai harta benda tak seimbang dengan pendapatanya ( kepemilikan harta
tidak wajar). Peraturan ini dinilai lebih lengkap dibandingkan dengan peraturan
sejenis yang lahir pada periode berikutnya, karena memuat upaya pemberantasan
korupsi melalui jalur tuntutan pidan maupun gugatan perdata, disertai sistem
preventif berupa pendaftaran harta benda pejabat. Sayangnya peraturan ini
kemuadian dikoreksi melaui UU No 24 tahun 1960 yang justru menghilangkan jalur
preventif gugatan perdata sehingga praktis pada masa Orde Baru upaya
pemberantasan korupsi menjadi kurasng efektif, karena tidak mudah untuk menyeret pelaku korupi ke meja hijau.
Kenyataan ini memunculkan sikap pesimistik terhadap upaya pemberantasan
korupsi. Keski pesimistik, tuntutan untuk memberikan perhatian terhadap persoalan
korupsi tidak pernah surut.
Pada
masa pemerintahan Orde baru tuntutan
untuk dilakukan tindakan tegas terhadap pelaku korupsi tetap ada,
meskipun dalam kondisi yang pasang surut. Masyarakat tentu sangat jengah atas
perilaku korupsi oleh rejim Suharto dan kroninya yang sangat jelas dan kasat mata.
Akan tetapi pendekatan represif yang dilakukan oleh rejim Suharto menyebabkan
masyarakat terkadang kehilangan semangat untuk melakukan perlawanan terhadap
perilaku korpsi. Namun elemen yang barangkali cukup intens untuk menyuarakan
pentingnya pengawasan dan sikap tegas dalam penindakan pelaku korupsi adalah
LSM. LSM sebagai lembaga morlaba secara lantang dan intens mengajak segenap
elemen masyarakat untuk menyadari pentingnya melawan korupsi, terutama karena
dampaknya terhadap kemanusiaan. Nampaknya pemerintah Orde Baru juga berusaha
merespon tuntutan masyarakat dengan mengesyahkan undang-undang Mo 3 tahun 1971,
yang didalamnya memuat ancaman cukup berat bagi pelaku korupsi. Sayangnya
undang-undang ini hanya sebuah upaya
pemenuhan tuntutan publik tanpa disertai komitmen yang kuat dari penguasa untuk
melaksanakannya secara konsisten. Akibatnya undang-undang tersebut hanya garang
di atas kertas, sehingga upaya pemberantasa
korupsi pun pada masa Orde baru dalam kondisi “mati suri” karena
undang-undang anti korupsi tidak pernah dipergunakan untuk menyeret
pelaku ke meja hijau.
Pada
masa pemerintahan orde reformasi, hasrat untuk membangun pemerintahan yang
bersih pada awalnya sangatlah menggebu. Bahkan terpilihnya SBY sebagai presiden
tidak lepas dari kampanye dan janji politiknya untuk memberantas korupsi jika
terpilih. Pemerintah SBY sebagai representasi orde reformasi memang telah
melahirkan berbagai peraturan untuk penanggulangan korupsi, dan juga melahirkan
lembagalembaga ad-hoc yang diharapkan dapat memperkuat efektifitas pemerintah
dalam penanggulangan korupsi. Sayangnya lahirnya berbagai peraturan dan lembaga
ad-hoc ini tidak menghasilkan secara signifikan berkurangnya tindakan korupsi.
Indek korupsi Indonesia sendiri bahkan tidak menunjukan secara signifikan
pergeseran yang memuaskan. Selama sepuluh tahun terakhir Indeks Korupsi
Indonesia tidak beranjank banyak sebagai salah satu Negara terkorup sebagaimana
terlihat dalam table dibawah ini :
Peringkat
Korupsi Indonesia
Tahun 2002-2012
No
|
Tahun
|
Nilai Indeks
|
Urutan
|
Jumlah Negara Yang Disurvey
|
1
|
2002
|
1,90
|
96
|
102
|
2
|
2003
|
1,90
|
122
|
133
|
3
|
2004
|
2,00
|
133
|
146
|
4
|
2005
|
2,2
|
137
|
159
|
5
|
2006
|
2.4
|
130
|
163
|
6
|
2007
|
2.3
|
143
|
180
|
7
|
2008
|
2,6
|
126
|
180
|
8
|
2009
|
2,8
|
111
|
180
|
9
|
2010
|
2,8
|
110
|
178
|
10
|
2011
|
3,0
|
100
|
183
|
11
|
2012
|
32
|
118
|
182
|
Sumber
: Transparansi Internasional,Desember 2012
Dari
tabel di atas memang menunjukan adanya
pergeseran yang mengarah kepada perbaikan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Namun capaian indek tersebut masih jauh jika dibandingkan dengan target yang
dipatok oleh pemerintah Indonesia yang di tahun 2014 mematok capaian indeks
korupsi Indonesia ada di angka 5.0. Kondisi ini tentu memaksa peemrintah
berupaya lebih keras dan konsisten. Terlebih jika kita menyadari bahwa dalam
orde reformasi praktek korupsi bukan hanya terjadi pada institusi Negara di
level pusat, akan tetapi justru semakin ekspansif menjalar kepada berbagai
elemen pemerintahan yang ada di daerah. Kalau dulu korupsi terjadi pada
lembaga-lembaga yang merepresentasikan pemerintahan yang sentralistik, maka
sekarang pola dan pelaku korupsi juga identik dengan pemerintahan yang
terdesentralisasi. Salah satu faktor pemicu yang dinilai menjadi akar munculnya
korupsi yang massif di daerah adalah pemilihan kepala daerah secara langsung.
Pilkada langsung membawa konsekuensi pada mahalnya ongkos yang harus
dikeluarkan oleh kandidat, sehingga siapapun yang terpilih menjadi kepala
daerah akan berusaha keras untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.
Pada awal berjalanya pemerintahan era reformasi, pejabat daerah yang banyak
terjerat kasus korupsi adalah anggota DPRD, dengan modus yang dilakukan adalah
anggaran fiktif, penggelapan bantuan sosial dan sebagainya. Kenyataan ini bisa
terjadi karena pada era ini kedudukan anggota DPRD memang sangat kuat sehingga
memunculkan sikap arogansi, termasuk arogansi dalam penggunaan anggaran
daerah. Begitu memasuki era pilkada
langsung setelah diberlakukannya UU No 22 tahun 2004, maka korupsi di daerah
bukan hanya menjerat anggota DPRD, akan tetapi juga Kepala daerah. Mulai dari
Gubernur, Bupati, Walikota, silih berganti di berbagai daerah di Indonesia
terjerat kasus korupsi, terutama dengan po;a penyalahgunaan APBD. Tidak sedikit diantara kepala daerah yang
terjerat korupsi adalah mereka yang juga pernah menorehkan prestasi. Padahal dengan pilihan langsung
para kepala daerah sesungguhnya telah menerima mandate dan kepercayaan langsung
dari masyarakat. Oleh karenanya perilaku korupsi mereka sangat meluaki
masyarakat. Yang lebih memprihatinkan adalah makin hari makin banyak pejabat
daerah yang tersandung kasus korupsi.
Menurut
Eko Prasojo (Kompas, 24 Januari, 2011) terkait Kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi bisa dikategorikan menjadi dua yaitu mereka
yang sejak awal memang diprediksi berpotensi menjadi koruptor, terutama karena
modal sosialnya yang rendah sehingga terpaksa harus mengeluarkan ongkos politik
yang mahal melalui politik uang dalam memperoleh dukungan. Tetapi di sisi yang
lain ada kepala daerah yang terjerat korupsi karena ia tidak mau terkungkung
oleh aturan-aturan standar normatif yang membatasi mereka untuk membuat
kebijakan-kebijakan progresif untuk kemajuan daerah, sehingga mereka biasanya
terjerat dengan pasal penyalahgunaan wewenang. Lebih jauh Eko Prasojo
menyatakan bahwa banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi disamping
karena ongkos politik yang mahal, juga karena penggunaan diskresi kepala daerah
yang tidak terkontrol; oligarki dan
dinasti kekuasaan akibat lemahnya kontrol masyarakat terhadap persekongkolan
antara birokrasi, politisi dan penegak hukum;
inkompabilitas sistem politik yang tidak berbasis ideologi politik dan
merit system yang melahirkan kepala daerah yang opotnunis; lemahnya pengawasan
pemerintah pusat dengan pemberian otonomi seluas-luasnya; dan juga lemahnya
pengawasan masyarakat madani. Namun bagi Thomson (2002:119-122) adanya Gubernur
atau Kepala daerah yang melakukan
korupsi dan penyelewengan karena para pejabat tersebut lupa bahwa mereka
terikat olehstandar-standar perilaku yang berbeda dengan kebanyakan orang.
Jabatan pemerintahan sesungguhnya harus dipahami sebagai kepercayaan (trust),
dengan demikian maka para pejabat mengenakan
standar perilaku yang lebih tinggi daripada warga negara biasa.
Tindakan-tindakan yang mungkin masih bisa diperbolehkan bila dilakukan oleh
warga Negara biasa, bias jadi akan menjadi sebuah kesalahan criminal apanila
dilakukan oelh pejabat. Lemahnya kesadaran inilah yang menyebabkan banyak
pejabat melakukan pelangggaran moralitas, dan dari sinilah kebangkrutan moral bangsa dimulai. Pergeseran penghargaan
atas nilai-nilai moralitas telah menghambat munculnya semangat untuk menjadikan
korupsi sebagai musuh bersama (common
enemy). Kita mungkin cukup prihatin dengan adanya fenomena masyarakat yang
permisif terhadap perilaku korupsi, karena sikap permisif ini akan menjadi
penghambat dalam upaya-upaya preventif penanggulangan korupsi. Tetapi yang
tidak kalah penting adalah perilaku korupsi pejabat publik yang sangat massif
akan memunculkan penilaian negatif dari masyarakat bahwa pemerintah tidak
sungguh-sungguh dalam menangani kasus korupsi.
Realitas
tentang menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam menangani
kasus korupsi bukan tidak beralasan. Hal ini muncul karena masyarakat masih
melihat fenomena tebang pilih dalam penanganan pelaku tindak pidan korupsi.
Kondisi ini bisa terjadi bukan tidak mungkin karena adanya tekanan-tekanan
politik terhadap otoritas yang berwenang dalam penanganan korupsi. Terlebih
apabila tindakan korupsi ini melibatkan orang-orang dalam lingkaran kekuasaan
baik yang berada di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Untuk Kota Semarang
sendiri kaus korupsi yang cukup menarik perhatian adalah keterlibatan Walikota
Sukawi Sutarip dalam kasus dana komunikasi dan mobilisai. Meskipun kasus ini
sudah terangkat ke permukaan sejak tahun 2003, akan tetapi tidak ada titik
terang, bahkan Kejati juga sudah mengeluarkan SP3. Kenyataan ini tentu memunculkan
keprihatinan dan bagi kalangan LSM kasus Sukawi ini dinilai melukai rasa
keadilan. Oleh kaenanya beberapa elemen LSM termasuk KP2KKN sampai saat ini
masih mengajukan banding untuk dibukanya kembali kasus tersebut.
Terkait
dengan tindak pidana korupsi oleh pejabat publik, Kota Semarang memiliki
catatan yang cukup memprihatinkan, terutama karena banyaknya kasus korupsi yang
melibatkan pejabat teras, baik di eksekutif maupun di legislatif. Kenyataan ini
tidak terlalu mengejutkan kalau di lihat dari perkembangan komitmen pemerintah
Kota Semarang yang belum menunjukan kesungguhan dalam penangan korupsi. Hal ini
dibuktikan dengan berbagai hasil penilaian mengenai Indeks persepsi korupsi
daerah yang dikeluarkan oleh Transparansi Internasional ataupun hasil kajian
KPK tentang Integritas Sektor Publik. Hasil
Kajian KPK menunjukan dari 87
Kota yang dijadikan sampel, Kota Semarang berada di urutan 84 dengan indeks
3,61, yang artinya Kota Semarang menjadi Kota yang masih buruk dalam penanganan
korupsi. Memang korupsi yang marak di berbagai daerah dipandang oleh para
pelaku bisnis sebagai masalah utama dibandingkan masalah-masalah lain seperti
infrastruktur yang belum memadai, birokrasi yang belum efisien, dam
ketidakadilan dalam penegakan hokum. Bagi pelaku usaha, lembaga kepolisian,
pajak, pengadilan dan kejaksaan merupakan lembaga-lembaga yang harus menjadi
prioritas . Menurut Dedie A Rachim, Direktur Pendidikan dan Pelayanan KPK dalam
sebuah seminar bertajuk “Akuntabilitas
Pelayanan Publik dan Pengelolaan APBD” yang dilaksanakan di Kota semarang
tanggal 21 November 2012 menyatakan bahwa pemerintah daerah wajib
bersungguh-sungguh melakukan upaya penanganan dan pemberantasan korupsi dengan
dua cara yaitu pertama upaya pencegahan,
yang bias dilakukan dengan cara antara lain : perbaikan sistem seperti
reformasi birokrasi guna mendorong good governance; pelaporan gratifikasi;
penetapanm kode etik profesi yang dijalankan secara konsisten dan diawasi
dengan baik; penertiban asset Negara; dan juga pendidikan dan kampanye anti
korupsi yang diagungkan di seluruh elemen masyarakat. Kedua upaya pemberantasan
yang dapat dilakukan dengan penindakan
melalui koordinasi dan supervise; penyitaan asset hasil korupsi dan juga
pelibatan masyarakat untuk aktif dan tidak bersifat permisif terhadap korupsi
dan perilaku koruptif.
Melihat
pentingnya pelibatan elemen masyarakat dalam pencegahan dan penindakan atas
perilaku korupsi, nampaknya peran LSM begitu urgen. Keberadaan LSM yang
memiliki integritas terhadap persoalan korupsi tidak dapat dipandang sebelah mata, karena tidak sedikit LSM yang memiliki komitmen sangat kuat terhadap persoalan
korupsi. Pentingnya melihat peran LSM Anti Korupsi juga tidak lepas adanya fakta bahwa seringkali lembaga
pemerintah yang memiliki tanggungjawab dalam penanganan korupsi juga tidak
berdaya karena adanya tekanan-tekanan politik.Oleh karena itu LSM sudah
selayaknya hadir sebagai institusi alternative dalam mengambil peran untuk
membangun kesadaran anti korupsi dan juga dalam mengawasi penanganan
tindak pidana korupsi. Keberhasilan LSM
dalam menjalankan perananya dalam upaya membangun kesadaran ati korupsi dan
dalam mengawasi tindak pidana korupsi tentu saja tidak berdiri sendiri, tetapi
juga membutuhkan dukungan dari institusi lain yang memiliki komitmen sama,
termasuk juga dukungan media massa. LSM
anti korupsi dan media massa harus bahu membahu dalam menumbuhkan budaya
dan sikap anti toleran terhadap perilaku korups, juga dalam mengawasi penanganan tindak pidana
korupsi. Di Kota Semarang sendiri keberadaan LSM anti Korupsi seperti PATTIRO
dan KP2KKN merupakan LSM yang sangat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Yang perlu menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah sesungguhnya LSM Anti Korupsi
membangun kesadaran anti korupsi di kalangan masyarakat ? Seperti apa pola-pola
kegiatan yang dipilih untuk menumbuhkan sikap intoleran terhadap perilaku
korupsi ? Bagaimana pula mereka membangun
jaringan kerjasama dengan media massa dalam penanganan tindak pidan
korupsi ?
METODA
PENELITIAN
Penelitian
ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang tujuannya adalah
memberikan gambaran secara obyektif kondisi empirik kegiatan yang dilakukan
oleh LSM dalam membangun kesadaran anti Korupsi dan dalam melakukan pengawasan
terhadap tindak pidana korupsi. LSM yang dipilih sebagai obyek penelitian
adalah PATTIRO dan KP2KKN. Pilihan
terhadap kedua LSM ini didasarkan pada pertimbangan rekam jejak dan konsistensinya dalam membangun gerakan anti
korupsi. Bagaimana LSM ini memberikan akses untuk memperkuat kesadaran pada
masyarakat bahwa sikap intoleran terhadap korupsi merupakan sebuah kebutuhan
mutlak dalam rangka membangun tata kelola pemerintahan yang baik dan dalam
mewujudkan pemerintahan yang bersih. Penelitian ini juga melakukan upaya recek
terhadap kelompok masyarakat yang telah memperoleh pendampingan. Untuk
memperoleh informasi dan data yang diperlukan dilakukan melalui wawancara
mendalam (in-dept interview) yang
kemuadian hasilnya dianalisis untuk bisa menarik kesimpulan dari rumusan
masalah yang telah diajukan.
HASIL PENELITIAN
(1). Kasus
Korupsi Di Kota Semarang
Semarang
merupakan Kota yang cukup menarik untuk diperbincangkan, bukan hanya karena
kondisi wilayah yang sangat unik karena memiliki pantai sekaligus wilayah
perbukitan, tapi juga kaya dengan bangunan bersejarah yang sangat potensial
untuk dijadikan obyek wisata. Tapi perilaku masyarakatnya juga dinilai cukup
kondusif bagi dunia investasi karena tidak masuk dalam kategori masyarakat
dengan sumbu pendek. Jika dikaitkan dengan persoalan korupsi, Semarang juga
menjadi perhatian banyak pihak karena memiliki catatan yang cukup buruk terkait
dengan korupsi. Dalam tiga tahun terakhir Semarang masuk 3 Kota/Kabupaten
terkorup di Jawa Tengah. Kota Semarang juga memiliki catatan dua Walikota
nya terseret dalam pusaran kasus korupsi
yaitu Sukawi Sutarip dan Soemarmo. Beberapa catatan Korupsi lain yang menyeret
kalangan ekseskutif dan legislatif di Kota Semarang antara lain adalah :
a. Kasus
Korupsi dana Mobilisasi dan Komunikasi. Pada tahun 2008 Sukawi ditetapkan sebagai tersangka kasus dana
Mobilisai bagi anggota DPRD dan dana
komunikasi bagi Ormas dengan kerugian Negara mencapai 5 miliar. Pada APBD tahun 2004 Pemerintah Kota Semarang
mengalokasikan bantuan mobilitas bagi anggota DPRD sebesar Rp1,8 miliar dan
bantuan komunikasi kepada organisasi kemasyarakatan sebesar Rp 2,19 miliar.
b. Korupsi
Dana Asuransi Fiktif Anngota DPRD Periode 1999-2004
Kasus
ini bermula dari pelaksanaan program asuransi dana sejahtera abadi antara DPRD
Kota Semarang dengan PT asaraya Life pada tahun 2003. Peogram asuransi ini
menawarkan premi sebesar Rp 38,4 juta per orang untuk jangka waktu setahun
dengan total premi kurang lebih Rp 1,7 miliar. Pagu asuransi tersebut diambil
dari dana APBD sebesar Rp 1,836 miliar. Tetapi ketika dana cair sebesar Rp
1,728 miliar dana tersebut tidak disetor ke perusahaan asuransi, namun
dibagikan kepada 45 anggota DPRD.
c. Korupsi
Pompa Air Pada Dinas Kebakaran
Hasil audit BPKP menilai kerugian Negara diperkirakan mencapai 4,3
miliar. Kasus ini bermula ketika BPBN memberi hibah sebesar Rp 10.7 miliar
kepada Dinas kebakaran Kota Semarang, yang dalam rekomendasinya digunakan untuk
rehabilitasi dan rekonstruksi penanggulangan setelah bencana. Namun dalam
kenyataan dana sebesar Rp 4,7 miliar digunakan untuk membeli 2 pompa air yang
sejak pembelian hingga dipasang di Sedompyong, Kelurahan Kemijen tidak dapat
dioperasikan. Kasus ini menyeret 4 pelaku yaitu
hdiat Ridho dan Puguh Susili dari pejabat Kota Semarang dan 2 lainya dari rekanan yaitu Priyo Sanyoto dan Hening Suwaskito
d. Korupsi
Alkes RSUD Kota Semarang
Korupsi
ini berawal ketika pada tahun 2010 RSUD Kota Semarang mendapatkan dana dari
APBN sebesar Rp 24 miliar untuk pengadaan alat kesehatan dan dana APBD sebesar
Rp 1,2 miliar untuk pos peningkatan
tegangan listrik. Kasus ini muncul karena salah satu peserta lelang yaitu Hasan
Umar selaku direktur CV Saba Mandiri
melaporkan ke Komisi D DPRD Kota Semarang bahwa pembelian alat kesehatan
diminta menaikan sebesar 25 % dari harga dasar oleh direktur RS Abimanyua.
e. Korupsi
Kolam Retensi
Kasus
ini berangkat dari proyek besar pemecahan rob dan banjir di Kota Semarang yang
sudah dimulai sejak 19 maret 2010, dimana biaya pembebasan untuk lahan seluas
92, 387 m2 mencapai Rp 39,93 miliar. Biaya pembebasan lahan ini yang mengundang dugaan terjadinya
penggelembungan harga dalam pemberian ganti rugi.
f. Korupsi
Suap RAPBD Tahun 2012
Kasus
ini terungkap ketika Sekda Kota Semarang pada tanggal 24 Novemver 2011 Akhmad
Zaenuri tertangkap tangan hendak
menyerahkan uang sebesar Rp 344 juta kepada anggota DPRD Kota Semarang dari
Fraksi PAN Agung Purno Sarjono dan anggota
Fraksi Partai Demokrat Sumartono. Pemberian suap tersebut bertujuan
memperlancar pembahasan RAPBD tahun 2012 karena keterlambatan Kota Semarang
dalam memberikan lampiran Kebijakan Umum Anggaran ataupun Prioritas Plafon
Anggaran Sementara, yang seharusnya diserahkan paling lambat bulan Juli 2011
tapi baru diserahkan pada bulan Oktober 2011. Padahal sesuai ketentuan jika
terjadi keterlambatan DPRD tidak boleh
melakukan pembahasan ataupun menyetujui RAPBD menjadi APBD. Kemudian dalam
persidangan terungkap telah terjadi
kesepakatan akan adanya pemberian yang sebesar Rp 4 miliar untuk anggota
DPRD dan Rp 1,2 miliar untuk ketua Partai apabila RAPBD disetujui menjadi APBD.
(2). Vonis dan
Penanganan Kasus Yang Belum selesai
Penanganan
berbagai kasus korupsi yang terjadi di Kota Semarang ada yang sudah mencapai
tahapan vonis, ada yang masih dalam proses, ada juga yang kasusnya dihentikan
karena dinilai kurang terpenuhimya unsur alat bukti terhadap kasus yang
disangkakan, atau karena tersengka telah mengembalikan uang. Pro dan kontra,
puas dan tidak puas mengiringi penanganan hukum berbagai kasus korupsi ini.
Beberapa kasus masih mendapatkan perhatian dan pengawalam khusus dari LSM Anti
Korupsi seperti KP2KKN, misalnya kasus Sukawi Sutarip yang telah SP3. Juga
Kasus Korupsi Alat kesehatan yang yang ditangani oleh Kejati belum mampu
mengungkapkan tersangka, ataupun kasus yang telah jelas-jelas terjadi
pelanggaran pidana korupsi dalam kasus Hibah pada Dinas Kebakaran, tapi belum
melakukan penahanan terhadap pelaku dengan alasan menunggu audit BPKP.
Kasus
Sukawi Sutarip tidak pernah mampu
menyeret yang bersangkutan ke meja hijau. Bahkan Kejati menghentikan kasus
tersebut yang diperkuat oleh surat dari Kejagung B406/A/FD/2008, yang
menyebutkan bahwa kebijakan kolektif yang dibuat oleh penguasa pemerintah
daerah dalam menetapkan anggaran APBD tidak dapat diuji yudikatif, kecuali
melalui instrument uji materi di Mahkamah Agung. Ditu APBD Kota Semarang yang
memuat dana mobilisasi dan komunikasi juga tidak dibatalkan oleh Gubernur.
Sementara para ahli yang diajukan oleh Kejati memberikan penilaian bahwa
pemberian dana komunuikasi kepada Ormas dan dana mobilisasi kepada anggota DPRD merupakan hal yang wajar
dan bukan pelanggaran pidana korupsi. Dana tersebut juga telah masuk dalam
daftar anggaran satuan kerja (DASK) pada APBD tahun 2004 serta sudah dibuatkan
perda No 10 tahun 2003 tentang APBD tahun 2004. Disamping itu dana mobilisasi
dianggap hanya kesalahan administrasi dan anggota DPRD telah mengembalikan dana
secara bertahan
Untuk
Dana Fiktif asuransi anggota DPRD meskipun telah mengalami pasang surut dalam
penangananya sejak disidik pertama pada tahun 2004, pada
akhirnya seluruh tersangka telah dieksekusi. Terakhir eksekusi dilakukan
terhadap 4 orang mantan anggota DPRD Periode 1999-2004 yaitu Elvi Zuhroh, Junaedi,
AY Sujianto dan Purwono Bambang Nugroho, yang kasusnya menggantung cukup lama.
Untuk kasus korupsi dana pompa air juga belum dilakukan penyidikan lebih jauh
sehingga jika unsur terpenuhi maka akan segera bisa dilakukan eksekusi dan
penahanan kepada para pelaku.Sampai sekarang
sejak kasus mencuat tahun 2010 belum ada tindakan penahanan kepada para
pelaku. Kejaksaan belum melimpahkan
kasus ke tahap penuntutan dengan alasan
masih menunggu hasil audit dan pelaku Priyono Sanyoto selaku direktur CV
Ganesha yang disangkakan melakukan pidana korupsi telah mengembalikan uang
dengan menitipkan kepada Kejari uang
sebesar Rp 4.390.683.000. Demikian juga untuk kasus pembangunan kolam retensi
sampai saat ini kejaksaan masih menelusuri kepastian aliran dananya.
Untuk kasus korupsi alat kesehatan Kejati
belum mampu menunjuk para pelakunya. Mestinya laporan dari Direktut CV Saba
Mandiri Hasan Umar dapat menjadi dasar bagi kejaksaan untuk melakukan
penyidikan. Namun menurut Kajati upaya
untuk mengundang pihak-pihak pemenang lelang sebagai saksi dalam membuktikan dugaan terjadinya penggelembungan
dalam pengadaan alat kesehatan tidak mudah,
karena pengambilan alat kesehatan tidak dilakukan langsung dengan
produsen akan tetapi dengan distributor yang posisinya berada di luar kota.
Kasus
yang cukup cepat penanganaya adalah kasus korupsi dugaan suap RAPBD Kota
Semarang yang melibatkan Walikota Soemarmo, Sekda Akhmad Zaenuri, anggota DPRD
Agung Purno Sarjono dan Sumartono. Kasus ini memang terekspose cukup luas yang
kemudian penanganaya dilakukan oleh KPK. Semua pelaku telah dikenai vonis,
Walikota Sumarmo oleh Pengadilan Tipikor Jakarta yang semula dikenai vonis 1 tahun 6 denda 50 juta, pada tanggal 13 Agustus 2013 karena dinilai
terbukti melanggar UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tipikor, dengan mencoba
member suap sebesar Rp 304 juta kepada 2 anggota DPRD Fraksi PAN Agung Purno
Sarjono dan Sumartono dari Fraksi Demokrat dimana uang itu merupakan bagian
komitmen dar 4 miliar yang akan dibesikan dalam pengesahan RAPBD menjadi APBD.
Namun hukuman tersebut kemudian menjadi lebih berat ketika Sumarmo mengajukan
Kasasi Ke MA, demikian juga jaksa penuntut umum. Keputusan MA menolak Kasasi
Sumarmo dan menyetujui kasasi yang diajukan Jaksa penuntut Umum. Ketua Majelis
Kasasi Hakim Agung Artidjo Alkostar menilai dasar pemberian vonis melalui pasal 5 UU Tipikor dinilai tidak tepat karena
yang disuap anggota DPRD bukan PNS, maka lebih tepat digunakan pasal 13, dengan
member vonis 3 tahun penjara dan denda semula 50 Juta menjadi 100 juta.
Demikian juga untuk Sekda yang oleh oleh
Hakim Tipikor Semarang divonis 1 tahun 5 bulan dan denda Rp 50 juta sunsider
kurungan 2 bulan. Meski Pengadilan Tinggi Tipikor memperkuat vonis, akan tetapi
Jaksa penuntut Umum mengajukan Kasasi dan putusan Mahkamah Agung member vonis
lebih berat yaitu 2 tahun 6 bulan atau setahun lebih berat. Putusan MA ini
merupakan keputusan tetap (inkrah). Demikian juga kedua anggotab DPRD yaitu Agung
Purno Sarjono di vonis 3 tahun 6 bulan denda 50 juta subsider kurungan 3 bulan penjara dan Sumartono divonis 2 tahun
5 bulan denda 50 juta subsider 5 bulan penjara.
Meskipun
upaya penanganan korupsi di daerah masih pasang surut, akan tetapi keberadaan
KPK masih menjadi secercah harapan terhadap kesungguhan pemerintah dalam penanganan
dan pemberantasan korupsi. Demikian juga keberadaan LSM anti korupsi akan
menjadi kekuatan yang memberikan pemberdayaan kepada masyarakat untuk menjadi
bagian dalam upaya pemberantasan korupsi dengan bersikap intoleran terhadap
korupsi dan ikut berpartisipasi dengan mau melaporkan dan mengawasi jika
terjadi tindak pidan korupsi.
(3).
LSM Dan Peranananya Dalam Gerakan Anti Korupsi
Ketika
pemerintah sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam penanganan berbagai
tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi
ternyata tersandra oleh karena banyaknya pejabat Negara yang terlibat
didalamnya, maka LSM mau tidak mau menjadi harapan bagi masyarakat untuk
menjadi pengawas terhadap berbagai bentuk tindak pidana korupsi. Sebagai
lembaga yang bersifat nirlaba dan sukarela maka LSM anti korupsi berdiri di
atas sebuah komitmen untuk benar-benar mewujudkan suatu praktek pemerintahan
yang bersih, karena pemerintahan yang bersih akan berdampak pada pencapaian
kesejahteraan. Di Kota Semarang sendiri
bermunculan LSM yang berorientasi pada promosi anti korupsi. Akan tetapi LSM
yang cukup intes adalah KP2KKN dan PATTIRO. Mereka terlibat dalam upaya
preventif maupun kuratif
a. Upaya
Preventif dan Edukatif
Upaya preventif adalah upaya pencegahan yang bisa
dilakukan dengan memberikan pendidikan dan sosialisasi mengenai pentingnya
nilai-nilai anti korupsi. Dalam upaya
ini kegiatan dilakukan dalam bentuk kampanye, edukasi langsung kepada masyarakat
melalui penyuluhan dan simulasi. Untuk upaya preventif sejak tahun 2007 KP2KKN telah
secara bertahap masuk ke sekolah-sekolah
untuk memberikan sosialisasi pentingnya bersikap intoleran terhadap korupsi.
Pada tanggal 12 tahun 2010 bekerjasama
dengan KPK dan TI misalnya pernah melakukan upaya penyadaran (awareness) melalui pendidikan anti korupsi yang melibatkan 110
orang dari komponen Kepala Sekolah SD, SMP dan SMU serta kepala unit pelaksana
dari 16 kecamatan yang ada di Kota Semarang. Para peserta memperoleh materi
tentang anti korupsi dari para narasumber yang sangat kapabel baik dari KP2KKN,
TI maupun KPK. Pada kesempatan itu pula mereka diminta menadatangani papan
kesepakatan untuk bersikap anti korupsi dengan menggunakan dana alokasi khusus,
biaya bantuan operasional dan anggaran pendapatan dan belanja sekolah secara
transparan. Demikian juga dalam penerimaan siswa baru akan dilakukan secara
jujur dan dapat diakses masyarakat, juga akan menerapkan pendidikan anti
korupsi di sekolah.
Untuk Pattiro sebagai LSM lebih memberikan perhatian
pada alokasi anggaran APBD yang ditujukan langsung pemanfaatanya bagi
masyarakat. Dalam upaya preventif Pattiro lebih mendorong pada terbangunaya
sistem yang member ruang bagi transparasnsi anggaran. Hal ini diungapkan oleh
Ibu Dini Inayati selaku direktur Pattiro yang memberikan pernyataan sebagai
berikut :
“kami sebenarnya lebih cenderung mendorong
pada perubahan sistem sehingga proses transaksi menjadi lebih transparan dan
bisa diakses oleh masyarakat, misalnya dengan adanya LPSE atau lembaga
pengadaan secara elektronik. Kemudian juga mendorong adanya Pakta Integritas
kepada lembaga atau institusi yang sangat berkompeten dan berkepentingan dalam
berbagai proses pekerjaan dengan pemerintah Kota Semarang melalui proses lelang
atau tender, misalnya dengan Apindo selaku unsure pengusaha. Hal ini penting karena salah satu sumber
terjadinya korupsi adalah kongkalikong pejabat dengan pengusaha dalam lelang
pengadaan barang dan jasa” (wawancara, Kamis 9 Oktober 2013)
Pengadaan
barang dan jasa memang menjadi modus yang paling banyak dilakukan oleh pelaku
korupsi, misalnya dengan memberikan proyek pengadaan kepada rekanan yang mau
menaikan harga barang lebih tinggi dari harga dasar, atau mau memberikan fee meskipun harga
penawaran menjadi lebih tinggi. Namun bagi PATTIRO perbaikan sistem saja tidak
cukup, perlu juga memberikan penyadaran kepada masyarakat agar memiliki
keberdayaan untuk melawan korupsi, seperti diungkapkan oleh Ibu Dini berikut
ini :
“Disamping kami mendorong upaya perbaikan
sistem yang dapat mengurangi peluang terjadinya korupsi, kami juga mendorong
agar masyarakat semakin berdaya dan memahami bagaimana mereka berkontribusi
dalam memerangi korupsi. Cara yang kami tempuh adalah dengan memberikan akses
dokumen lengkap kepada masyarakat yang kebetulan menerima proyek dari pemerintah,
sehingga mereka dapat melakukan pengawasan terhadap proyek tersebut apakah
terjadi penyimpangan atau tidak. Jika terjadi penyimpangan maka kami menawarkan
untuk melakukan pendampingan agr proyek bisa dilaksanakan sesuai dengan
perencanaan. Contohnya dalam kasus MCK Plus di Kelurahan Kemijen Semarang
Timur. Konsep ini kita namakan audit social” (wawancara hari kamis, 9
Oktober 2013)
Upaya
preventif sebenarnya bukan persoalan mudah karena semua kembali kepada
masyarakat. Upaya penyadaran tidak bisa dilakukan
sekali dua kali, akan tetapi harus menjadi upaya yang berkesinambungan. Dalam
kontek penggunaan anggaran misalnya, PATTIRO telah melakukan pendidikan kepada
para fasilitator musrembang kelurahan yang ada
di 16 Kecamatan dimana jumlahnya
mencapai 177 orang. Tapi dalam kenyataanya hanya beberapa yang memberikan
respon positif.
b. Upaya
Kuratif
Disamping upaya preventif dan edukatif, LSM anti
korupsi berperan pula dalam upaya kuratif. Kalau PATTIRO
lebih bergerak pada ranah pencegahan, maka KP2KKN bergerak pada dua
ranah yaitu ranah pencegahan dan ranah penindakan. Dalam ranah pencegahan
KP2KKN melakukan upaya pendidikan anti korupsi, namun dalam ranah penindakan
KP2KKN melakukan beberapa upaya antara lain :
1. Proses
investigasi terhadap pihak-pihak yang disangkakan melakukan tindakan korupsi
2. Melakukan
penekanan-penekanan kepada penegak hukum
untuk sungguh-sungguh dalam melakukan penanganan korupsi (dalam penyelidikan
dan penyidikan)
3. Menggandeng
media massa untuk menyebarluaskan hasil investigasi.
4. Melakukan
upaya eksaminasi terhadap putusan
perkara yang dinilai tidak memenuhi rasa keadilan dan kemudian mempublikasikan
secara luas.
Menurut Eko Haryanto, Sekretaris KP2KKN, investigasi yang dilakukan oleh KP2KKN sangat
penting karena untuk pintu masuk dalam meperoleh data yang valid sehingga
dapat memperkuat dugaan tindak pidana
korupsi terhadap para pelaku, sebagaimana diungkapkan dalam kesempatan wawancara
sebagai berikut :
“ Investigasi merupakan upaya kami untuk
memperoleh data agar langkah kami dalam mengawal para pelaku korupsi
benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya dalam kasus Hakim Kartini
Marpaung, kita memulai dengan mencari kepastian tempat tinggal, kemudian
melihat kebiasaan dan gaya hidupnya. Kita juga melakukan pengamatan apakah dia
melakukan pertemuan-pertemuan di luar dengan pihak-pihak yang berperkara. Jika
kita sudah memperoleh data yang memadai, maka kita sampaikan fakta tersebut
kepada aparat penegak hukum agar segera melakukan langkah penyidikan dan
penahanan. Terhadap kasus-kasus yang kami yakini memenuhi unsur pidana korupsi
tetapi dihentikan prosesnya, kami mengajukan surat kepada Mahkamah Agung untuk
dilakukan peninjauan kembali, seperti dalam kasus Sukawi Sutarip. Sampai saat
ini kami masih melakukan pengawalan terhadap kasus-kasus korupsi yang
memperoleh SP3” (wawancara Jum’at,
10 Oktober 2013)
KP2KKN memang
menjadi salah satu LSM anti korupsi yang paling intens melakukan pengawalan
terhadap berbagai kasus korupsi di Semarang pada khusunya dan di Jawa Tengah
pada umumnya. Terhadap kasus yang dinilai lamban penangananya, KP2KKN melakukan
upaya penekanan dengan melakukan demo di depan
kantor penegak hukum seperti Powiltabes, Kejari, Polda, Kejati dan juga
Pengadilan Tipikor. Simbol-simbol sebagai atribut ketidakpuasan juga sering
dibawa dalam demo tersebut seperti penyerahan celana dalam dan BH dan penyerahan telur busuk. Hal ini diharapkan dapat
mendorong aparat untuk lebih serius dalam penanganan korupsi.
PEMBAHASAN
Bicara
korupsi sesungguhnya bicara persoalan yang sangat kompleks, bukan hanya bicara
masalah akar persoalan tetapi juga bicara masalah dampak dan upaya
penanggulanganya. Korupsi di Indonesia merupakan persoalan bangsa yang sangat
serius karena sudah terjadi secara massif di berbagai elemen pemerintahan dan
berbagai tingkatan. Korupsi sejak era orde baru telah menjadi patologi
birokrasi yang mewabah mulai dari pemerintahan di level nasional sampai ke
pemerintahan di level terendah yaitu desa atau kelurahan. Manipulasi, kolusi,
menjadi tindakan yang dinilai sebagai sebuah kewajaran. Sikap masyarakat pun
menjadi sangat toleran dan permisif terhadap korupsi, yang menjadi penyebab
makin masifnya tindakan korupsi. Jika pada mulanya korupsi banyak terjadi pada
ranah Negara (state), maka sekarang
korupsi juga merambah pada ranah masyarakat (Society). Korupsi dalam ranah Negara tidak dapat dilepaskan dari
persoalan kekuasaan. Menurut Brasz (Dalam Mochtar Lubis dan James Scott,
1995:2-5) korupsi adalah hasil praktek kekuasan tanpa aturan hukum, dimana
kekuasaan digunakan untuk tujuan lain selain tujuan yang telah ditetapkan dalam
kekuasaan yang telah dilimpahkan atau juga dikenal sebagai penyalahgunaan
kekuasaan atau kewenangan (detournement
de pouvoir). Bagi Mufti mubarok
(2012:26) korupsi dan kekuasaan seperti dua sisi dari satu mata uang yang tidak
dapat di pisahkan. Dimana ada kekuasaan maka potensi untuk melakukan korupsi selalu
terbuka, begitu juga sebaliknya dimana korupsi dilakukan amak keterlibatan pemebang kekuasaan menjadi abash adanya.
Sedangkan
korupsi si ranah masyarakat terjadi karena tergerusnya nilai-nilai moralitas
masyarakat. Hal-hal yang semua ditabukan oleh masyarakat kemudian dianggap
menjadi sebuah kepantasan dan patut dilakukan. Apa yang dilakukan oleh
masyarakat biasanya mengambil justifikasi apa yang dilakukan oleh pejabat
Negara. Jika pejabat Negara yang semestinya
bertindak sesuai dengan standar moral yang lebih tinggi saja melakukan pelanggaran, maka masyarakat biasa
pun tidak masalah untuk melakukanya. Korupsi dalam ranah masyarakat terjadi
karena belajar dari apa yang dilakukan oleh para pejabat Negara. Oleh karenanya
korupsi di Indonesia bukan lagi hanya kisaran pencurian uang Negara, tetapi
juga bangkrutnya nilai-nilai moralitas yang dapat mengancam harkat dan martabat
bangsa di mata dunia. Persoalanya adalah mengapa korupsi di Indonesia begitu
marak dan seolah sukar dihentikan lajunya meskipun upaya pemberantasan korupsi
juga telah lama dilakukan oleh pemerintah ?
Menurut
Krisna Harahap (2009:0-13) korupsi di
Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun karena adanya faktor internal dan
eksternal. Faktor internal mencakup dua hal yaitu adanya dorongan kebutuhan (corruption by need) dimana orang
melakukan korupsi karena terpaksa akibat desakan kebutuhan dan dorongan
ketamakan (corruption by greed),
dimana orang melakukan tindakan korupsi karena keinginan kuat untuk hidup
dengan kemewahan. Sedangkan faktor eksternal antara lain adalah lingkungan yang
mendukung seperti sikap masyarakat yang
permisif terhadap tindakan korupsi, juga pengawasan yang tidak memadai. Korupsi
yang semakin masif di Indonesia juga meluas dalam praktek penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Korupsi menjadi semakin terdesentralisasi dan semakin
marak pada era otonomi yang sangat luar pada orde reformasi. Menurut Hadi
Supeno dalam bukunya Korupsi di
Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan
Pengakuan (2009), korupsi di daerah
menjadi sukar terbendung karena korupsi menjelma menjadi sebuah aktivitas yang
terencana, yang tersusun secara sistemik sehingga tidak mudah terdeteksi. Oleh
karenanya penangananya juga mebutuhkan upaya-upaya sistemik.
Dari
berbagai penelitian dan kajian mengenai praktek korupsi di daerah, khususnya di
Jawa Tengah, ada sejumlah sektor yang
menjadi sumber tindak pidana korupsi yaitu :
Anggaran Daerah; Infrastruktur; Bantuan Sosial (bansos);Pendidikan;
Perbankan; Program Pemberdayaan; Kesehatan; Kesejahteraan Pegawai; Swasta;
Kependudukasn ; dan Olah Raga (Laporan Monitoring KP2KKN, tahun 2010). Hampir
semua sektor dalam kasus korupsi selalu melibatkan birokrasi. Oleh karena itu
perilaku korupsi birokrasi harus menjadi prioritas dalam penangananya baik upaya
preventif maupun kuratif.
Korupsi
di birokrasi memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh karena didalamnya
menyangkut persoalan integritas moral dan mental yang telah terbangun di
kalangan birokrasi. Demikian juga budaya materialistik di kalangan masyarakat membuat korupsi lebih diwarnai
oleh perilaku ketamakan. Akibatnya ruang untuk menghilangkan korupsi menjadi semakin sempit, karena semua
ruang di ranah Negara maupun masyarakat menjadi sangat terbuka bagi perilaku
korupsi. Tetapi dengan kondisi yang demikian tidak berarti kita patah arang
dalam upaya memerangi tindak perilaku korup.
Pengalaman
susahnya membersihkan korupsi dari birokrasi bukan hanya dialami oleh
Indonesia. Banyak Negara-negara maju juga pernah mengalami hal serupa, termasuk
Amerika. Pada masa pemerintahan Reagan perilaku korup di kalangan pejabat
federal begitu marak dikarenakan lemahnya pengawasan akibat kepemimpinan Reagan
yang dinilai terlalu baik sehingga terkesan melakukan pembiaran terhadap
pejabat yang korup. Demikian yang terjadi di Indonesia, meluasnya perilaku
korup bisa jadi juga karena lemahnya penegakan hukum dan juga meluasnya sikap
pemisif masyarakat. Oleh karenanya penanganan korupsi bukan hanya membutuhkan
upaya represif akan tetapi juga upaya preventif. Upaya preventif dibangun
dengan menumbuhkan budaya anti korupsi sebagai sebuah nilai baru . Belajar dari
pengalaman Negara lain yang berhasil
melakukan pemberantasan korupsi secara baik menurut Hamzah (2005:5).
Bukan ancaman pidana yang luar biasa beratnya yang diutamakan, tetapi sistem
manajemen Negara yang rawan korupsi yang harus ditanggulangi lebih dahulu
sebelum mengambil tindakan represif. Institusi-institusi yang rawan bagi
terjadinya pembocoran dana harus ditata dengan membuat standar pengelolaan yang
meminimalkan kebocoran. Langkah ini memang tidak mudah, terlebih kalau perilaku korupsi ini telah mengakar
dan banyak elemen masyarakat yang
diuntungkan oleh sistem yang lama. Oleh karenanya membangun budaya anti
korupsi sangat membutuhkan keterlibatan
masyarakat, yang dimulai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
bahaya yang akan terjadi apabila korupsi terus meluas. Mengembangkan budaya
anti korupsi utnuk menagkal tindak korupsi yang telah mengakar tidak boleh
mengingkari bahwa aspek”moral”
sangatlah penting. Menurut Kumorotmo (2001:2016), ada tiga aspek penting
sebagai cara menagkal korupsi yaitu : 1) Aspek
Struktur sosial, yaitu sikap konsisten merupakan modal uatama. Jika dalam masyarakat ada perlawanan terhadap
korupsi maka akan ditemukan kekuatan untuk melawan korupsi dan sebaliknya; 2) Aspek yuridis, yaitu penegakan hokum
yang tidak diskriminatif; 3) Aspek
etika/ahlak manusia, yaitu adanya upaya-upaya yang mengarah pada faktor
moral.
Perlawanan
korupsi oleh masyarakat ternyata menjadi modal penting dalam memerangi perilaku
korupsi. Oleh karenanya membangun penyadaran kepada masyarakat tentang
pentingnya sikap intoleran terhadap korupsi merupakan sebuah kebutuhan mutlak..
Peran ini nampaknya akan sulit dilakukan oleh pemerintah, ketika kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah juga rendah, sebagai akibat banyaknya pejabat
yang tersandera masalah korupsi. Oleh karena itu peran kelembagaan yang
dibangun sendiri oleh masyarakat seperti LSM menjadi sebuah kemutlakan dalam
memerangi korupsi. Sebuah riset tentang
memerangi korupsi yang terdesentalisasi di Indonesia yang dilakukan oleh Taufik
Rinaldi dan kawan-kawan juga menemukan bahwa dari berbagai kasus korupsi di
daerah yang terangkat ke permukaan tidak lepas dari peran LSM Lokal sebagai
wadah perlawanan, dimana berbagai laporan tentang indikasi korupsi yang
terungkap selalu menjadikan LSM sebagai ujung tombak pengunkapan dan pendorong
dalam penyelesaian kasus. Secara karakteristik LSM berhasil mengungkap kasus
tidak bekerja sendirian akan tetapi bekerjasama dengan elemen civil society
serta pelibatan media massa. Sedangkan strategi yang diambil adalah dengan
membangun basis-basis anti korupsi di tingkat komunitas dan membentuk koalisi
bersama dengan elemen organisasi kemasyarakatan lain, serta membangun kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk
mendesakan tuntutan adanya proses hukum yang adil dan terbuka, juga selalu
berusaha membangun kerjasama denga aparat penegak hukum yang reformis. Namun
dari banyak strategi yang dilakukan, pelibatan media massa menjadi kunci
keberhasilan, terutama dalam melakukan penekanan atas proses korupsi yang
sedang berjalan.
Kemitraan
juga menjadi strategi yang ampuh dalam penanggulangan korupsi sebagaimana yang
selalu dilakukan oleh Transperancy International. Bagi Transperancy
International (www.ti.bangladesh.org)
penanggulangan korupsi dilakukan
dengan melibatkan pemerintah, media,
NGO, dengan beberapa cara yaitu :
1. Work
with government for policy reform and institutional changes: dissemination for
awareness and opinion building through media campaign;
2. Engage
Citizens: lead public awareness and participation campaign (seminar, workshop);
inform and advice the public; engage public officials and public
representatives in motivational and specific action-oriented activities;
creating integrity;
3. Build
Constituencies : working with media, NGO, engaging the youth as volunteers
Keberhasilan LSM
seperti KP2KKN dan Pattiro dalam upaya pemberantasan korupsi di Kota Semarang juga tidak lepas dari hasil
kerjasama yang dibangun dengan media, misalnya dengan mengikut sertakan unsur media
dalam forum yang dibangun oleh LSM; secara aktif selalu memberikan data kepada
media dari hasil investigasi yang dilakukan; membangun hubungan-hungan informal
secara pribadi dengan wartawan; melakukan pertemuan-pertemuan secara teratur
dengan redaksi dari media lokal dan juga membuat program dan kegiatan yang
member manfaat bagi media (kegiatan yang punya nilai berita).
PENUTUP
Dari hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam membangun kesadaran anti korupsi
LSM melakukan upaya preventif maupun
upaya kuratif, bermitra baik dengan masyarakat, LSM lain maupun dengan media
lokal. Namun kegiatan tersebut masih belum intens, terutama unruk upaya
preventif melalui pendidikan anti korupsi,
karena keterbatasan dana sehingga
lebih mengandalkan pada mitra seperti IT , ICW maupun KPK. Padahal
disadari betul bahwa upaya pencegahan jauh lebih baik. Oleh karena itu ke depan
sebaiknya LSM juga bermitra dengan Perguruan Tinggi lokal untuk mengembangkan
model pendidikan anti korupsi yang lebih luas.
Daftar Petaka
Hamzah,
Andi,2005, Pebandingan Pemberantasan
Korupsi di Berbagai Negara, Jakarta, Sinar Grafika
Harahap,
Krisna, 2009, Pemberantasan Korupsi di
Indonesia Jalan TanPa Ujung, bandung, Grafiti
Kumorotomo,
Wahyudi, 2002, Etika Administrasi Negara,
Jakarta, Raja Grasfindo Persada.
Lubis,
Mochtar dan Scott James C, 1995, Bunga
Rampai Korupsi, Jakarta, LP3ES
Mubarok,Mufti,
Membongkar Sindikat Penjahat Negara:
Modus Operandi dan Antisipasi, Surabaya, Reform Media
Rinaldi,
Taufik, dkk, 2007, Fighting Corruption In
Decentralized Indonesia: Case Studies on Handling Local Government Corruption
Supeno,
Hadi, 2009, Korupsi di Daerah: Kesaksian,
Pengalaman dan Pengakuan, Yogyakarta, Total Media
Thomson, Dennis F, 2002, (terjemahan Benyamin Molan), Etika Politik Pejabat Negara, Jakarta,
yayasan Obor Indonesia
2 komentar:
SAHABATQQASIA .COM AGEN DOMINO QQ AGEN DOMINO 99 DAN POKER ONLINE AMAN DAN TERPERCAYA
* Minimal DEPOSIT Rp 20.000,-
* Tersedia 7 game dalam 1 USER ID
*Bonus TO 0,3% Setiap 5 hari
*Bonus Refferal 15%
- Contact Us -
Website : SahabatQQ
Pin BB : 2BCD6D81
WA : +855-81734021
LINE : SAHABATQQ
YM : cs2_sahabatqq
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Posting Komentar